education, parenting, produktif, social & culture

Catatan Ummi 1: Televisi dan Video Bukan Tontonan untuk Anak

Hari ini periksa dua pekanan dan tentunya saya harus membawa serta Nuh. Kebetulan hari ini dia agak di luar kebiasaan, cenderung cerewet dan tidak mau duduk tenang di stroller selama di jalan maupun rumah sakit. Apalagi tadi saat berangkat agak terburu-buru karena ternyata hujan dan harus memasang tirai plastik di luar strollernya segala macam.

Saat menunggu giliran, awalnya anak saya masih lumayan kooperatif dan mau memainkan mainannya sendiri. Namun, ternyata antrian hari ini cukup panjang hingga anak saya mulai bosan dan agak mengantuk. Ocehan yang tadinya lucu, lama-lama jadi keras. Beberapa kali saya harus ganti senandung dan aktifitas main bersama untuk mengalihkan kebosanannya. Alhamdulillah, masih terkendali.

Di sisi lain ruangan, ada dua anak balita yang duduk bersama ayah dan ibunya. Sepertinya sudah cukup lama menunggu karena saat saya datang, mereka sudah duduk di sana. Saat ibunya wira-wiri entah ke mana lalu ke ruang periksa, anak-anaknya rupanya mulai bosan sementara ayahnya tidak terlalu mau mengajaknya bermain atau mengobrol. Lalu terdengarlah suara musik iringan game dan kartun secara bersamaan. Dua balita tadi akhirnya agak diam karena dibiarkan menonton game ataupun video kartun, sementara ayahnya menurunkan topinya lalu setengah tidur.

Saya tidak bisa menyalahkan orang tua yang terbiasa memberikan video ataupun game untuk menenangkan anaknya. Apalagi di Jepang ini, orang tua seolah-olah dituntut untuk sebisa mungkin membuat anaknya tenang tanpa mengeluarkan celotehan ataupun teriakan khas anak-anak. Barangkali, bagi mereka video game ini salah satu cara terjitu, tercepat dan efektif bagi anak-anak mereka.

Saya pribadi mempunyai prinsip berbeda. Sebisa mungkin saya tidak ingin memberikan tontonan kepada anak-anak saya sebelum masuk usia yang saya anggap pantas untuk menonton dan bisa diajak bersepakat tentang batasan waktu. Tontonan yang nantinya saya bolehkan pun hanya tontonan edukatif, bukan acara TV ataupun film kartun anak. Lho, bukannya banyak video kartun yang memang ditujukan untuk bayi dan anak-anak? Iya, memang banyak. Namun saya tetap kukuh pada pendirian saya untuk tidak menyajikan hal itu sebagai tontonan, penenang, ataupun pengalih perhatian. Saya lebih senang anak saya aktif bergerak di usia emasnya. Capek dong menenangkan atau membuat anak tidak cepat bosan, apalagi di tempat umum? Mungkin iya, tetapi saya tidak mau kalah. Anggap saja itu sebagai ajang kreatif buat saya agar bisa menciptakan permainan sendiri agar bisa membuat anak tetap tenang dan tidak bosan tanpa dibungkam dengan video game ataupun kartun.

Saat ini pun, keluarga kecil kami sudah tidak menonton televisi. Padahal ada layar televisi besar di rumah. Namun tidak pernah kami nyalakan lebih dari setahun ini. Kalaupun dinyalakan, fungsinya berubah hanya sebagai layar yang lebih besar bagi laptop kami :D. Tahan? Alhamdulilaah, tenang dan nyaman tanpa televisi. Sesekali kami nonton video seputar ceramah agama ataupun rekaman acara televisi seperti dialog atau talk show di youtube. Namun itu sebisa mungkin dilakukan tanpa anak kami, misal saat dia tidur. Paling sering ditonton sih ceramah agama bagi suami saya dan demo masak bagi saya :D. Tidak jauh-jauh dari minat dan hobi lah. Rekaman acara televisi terhitung sangat jarang kecuali pas ada tema yang cukup menarik.

Alasan terkuat kami untuk tidak memberikan tontonan terutama televisi kepada anak kami adalah untuk menghindari pengaruh buruk bagi anak yang belum bisa memilah apa yang baik dan buruk, apa yang bermanfaat dan tidak. Kami menilai bahwa televisi bisa memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan mental san kepribadiannya kelak. Apalagi saat ini konten acara televisi makin amburadul dan iklan-iklan juga tidak jelas. Selain itu, kami tidak ingin anak-anak kami hanya jadi anak yang pasif. Anteng sih di depan televisi tapi tidak bermain sambil bergerak, berkreatifitas dengan berbagai macam media ataupun belajar banyak hal dengan melihat, mendengar ataupun merasakan langsung sesuai usianya. Ini juga yang mendorong saya untuk jadi kreatif dengan menciptakan berbagai macam senandung ataupun permainan yang bisa dilakukan bersama anak saya. Kata suami, akhir-akhir ini “koleksi” lagu saya untuk Nuh makin lucu dan justru suami saya yang lebih cepat hafal :D.

Barangkali banyak yang akan menyangsikan seberapa kuat kami akan bertahan tanpa televisi maupun video anak untuk anak-anak kami. Di sinilah tantangannya. Ini adalah pola didik yang sudah kami sepakati dan ingin kami jaga. Tentu saja tidak akan mudah. Apalagi lingkungan sekitar kami tidak semuanya sepakat ataupun paham tentang mengapa harus menghentikan tontonan bagi anak-anak. Namun saya ingat training tentang parenting dengan Abah Ihsan dulu bahwa orang tua akan selalu diuji tentang komitmennya dalam mendidik anak. Dulu yang dijadikan contoh misalnya orang tua melarang anaknya makan coklat tetapi saat berkunjung ke rumah kakek-neneknya, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan seplastik coklat hadiah untuk anak-anaknya. Di sinilah perlu komunikasi yang bagus agar anak tetap terjaga dalam pola asuh dan pola didik yang diinginkan dan di sisi lain, orang lain maksud baik dari sistem didikan yang kita inginkan.

Saya baru beberapa bulan jadi orang tua, tentunya masih miskin pengalaman. Namun, saya juga sudah sering mengamati tentang pola didik di sekitar saya. Tidak sedikit anak yang akhirnya jadi kecanduan menonton video bayi atau anak-anak hingga tidak mau dihentikan sama sekali. Tidak sedikit juga anak-anak yang lebih suka main game di handphone ataupun tablet dibanding bergabung bergabung dengan teman seusianya. Saya tidak ingin anak-anak saya jadi seperti itu. Oleh karena itu saya membatasi diri untuk memberikan handphone ataupun iPad saya sebagai tontonan ke anak. Sesekali, saya membiarkannya menyentuh iPad saya. Namun, itupun hanya sebatas slide show dari foto-foto keluarga kami yang kami tampilkan dengan kondisi iPad terkunci. Kalau slide show tadi terhenti karena ditepuk-tepuk oleh anak saya, ya sudah. Anak saya biasanya akan mencari hal lain untuk bermain. Oya, kami juga kadang-kadang memberikan video sebagai tontonan baginya, tapi isinya video keluarga alias kejadian sehari-hari yang kami rekam. itupun kami tonton bersama dengan memberikan penjelasan tentang berbagai hal kepada anak kami. Misalnya, kami putar ulang video saat anak kami bertepuk tangan pas dengan irama senandung kami atau video saat dia tertawa ceria sambil dijelaskan kami suka melihat dia jadi anak ceria. Jadi, sejauh ini tidak ada kata ketergantungan baginya. Kalaupun jadi kecanduan, toh isinya kami sendiri dengan kata lain dia bisa melihat aslinya setiap waktu :D.

Perjalanan kami masih panjang, masih butuh banyak energi dan komitmen kuat untuk konsisten. Namun kami percaya, insya Allah Allah akan mempermudah langkah-langkah kami selama ini untuk tujuan baik dan tetap menempatkan Allah sebagai hal pertama dan mendasar untuk diingat dan dipegang oleh anak-anak kami.