Keluarga, Miscellaneous, renungan

Banjir Pertama dan Pertarungan Ego

Bismillaah…Hari itu, 1 Januari 2020, mungkin akan jadi salah satu momentum yang sulit kami lupakan. Banjir besar melanda sebagian besar wilayah Jabodetabek. Bahkan di wilayah yang biasanya bebas banjir pun, pada akhirnya terdampak. Curah hujan yang besar dan merata di berbagai tempat, menjadikan air seperti berlomba mencari tempat untuk mengalir.Tanggal 1 Januari dini hari, kami baru saja pulang dari perjalanan darat dari Surabaya. Kami tiba di Bekasi Selatan, disambut dengan hujan tapi tidak ada firasat apapun karena hampir separuh perjalanan di tol, kami lalui di tengah hujan deras. Lelah & mengantuk, kami hanya sanggup memboyong anak-anak ke kasur dan meninggalkan barang bawaan tetap di dalam mobil.Jam 4 pagi, saya terbangun seperti biasa. Namun, sempat terdengar suara keras yang juga didengar suami. Suami mengecek ke ruang tengah, tidak ada apapun. Di luar rumah, hujan terdengar sangat deras. “Kok, ada air di lantai?” seruan kaget suami membuyarkan rasa kantuk dan membuat kami segera menelusuri asal air tersebut.Astaghfirullah, air masuk dari celah nat lantai. Merembes pelan dan akhirnya “surprised!” ada air keluar dari lantai dapur yang telah retak. Seperti mata air kecil, air keluar dengan cepatnya dan mengalir ke segala arah mencari jalannya.”Tapi kita belum sholat, gimana ini wudhunya? Kamar mandi sudah terendam.””Segera ke teras. Wudhu dengan air hujan. Ayo segera.”Kami berlari mengambil wudhu, mementingkan sholat Subuh, dan masih berharap air yang masuk tidak bertambah tinggi. Namun, harapan kami sirna ketika hujan tak kunjung reda dan air seperti semakin bertambah terus.Kami menyelematkan apapun yang bisa kami selamatkan. Barang-barang berharga kami tidak banyak. Namun, buku-buku cukup banyak. Di antara kegalauan apa saja yang harus diselamatkan berikutnya, suami memaksa saya menyiapkan kamar gudang di lantai 2. “Bawa anak-anak ke atas dan kamu jaga mereka di sana. Ini banjir besar. Kita ga mungkin melawan.”Syok. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Namun, saya tahu bahwa saya tidak punya pilihan lain. Ingin hati membantu suami menaikkan berbagai barang yang mulai tersentuh air. Namun, saya juga sadar bahwa keempat anak kami membutuhkan orang dewasa untuk mendampingi meski di lantai 2 pasti jauh lebih aman.Saya ingat sebelum saya naik ke lantai 2, saya memeluk suami dan mengatakan bahwa saya siap menghadapi kerugian apapun yang akan kami terima sesudah ini. Jadi saya pesankan ke suami, untuk tidak ngoyo memindahkan barang karena insya Allaah saya pasrah apapun yang terjadi sesudah itu. Tentu saja, suami faham hal itu karena beliau lebih bisa menerima ‘kejutan’ semacam ini dibanding saya.Anak-anak terbangun dengan muka bingung. “Kenapa kita pindah ke kamar atas?”. “Abi di mana?”. “Kapan kita turun?”. “Pingin pipis ke kamar mandi. Gimana cara turunnya?”Sambil menata perbekalan yang kami bawa ke lantai 2, beberapa kali saya memanggil suami untuk memadamkan listrik saja. Awalnya, memang listrik tidak langsung dipadamkan oleh PLN. Saya ketar-ketir kalau ingat air masih terus naik sementara suami masih di bawah.Dua jam berjibaku dengan air, akhirnya suami menyerah. Lelah, pasti sangat lelah. Sedari Subuh suami beberapa kali menaikkan alat elektronik kami ke lantai 2. Namun, tawaran saya untuk kembali turun membantu, pasti ditolak.Akhirnya listrik mati. Gelap. Gerah karena kami berenam berkumpul di kamar 3 kali 3 meter, di antara tumpukan barang-barang. Batere hp mulai menurun, maka hemat sebisa mungkin untuk memantau grup warga.Hujan akhirnya berhenti. Awan mulai tersibak dan langit cerah mulai tampak. Sayangnya, air tidak langsung surut dan kami tetap terjebak.”Akan ada perahu karet SAR nanti sore. Kita istirahat dulu saja sekarang.” Qodarullaah, karena lelah, kami ketiduran dari ba’da zuhur sampai jam 3 sore hari. Kami mendengar suara orang berlalu lalang menerjang air di luar sana. Namun, kami tidak berani keluar. Akhirnya, suami coba pergi ke masjid dan mendapat kabar bahwa perahu karet SAR sudah lewat. Alhamdulillah, untungnya mereka meninggalkan semacam ember besar bekas Bathtub yang bisa untuk evakuasi anak-anak.Kami siapkan 3 anak paling besar dan bekal pakaian secukupnya. Mereka diantar lebih dulu ke masjid oleh suami. Baru setelahnya, suami kembali menjemput saya dan bayi nomor 4.Allahu Akbar. Seluruh rumah terendam. Rumah lama, rumah baru, semua terendam. Tinggi air yang masuk rumah saja yang mungkin berbeda. Alhamdulillah, masjid masih aman dan ternyata sudah cukup banyak orang yang mengungsi ke masjid dari pagi. “Sisi Barat situ, airnya sedada lho, Bu. Semua mobil, kulkas terendam dalam.”. Laa haula wa laa quwwata illa Billaah. Sungguh, kami hanyalah manusia lemah penuh dosa.Tanggal 1 malam, kami lewatkan bersama beberapa keluarga lain di masjid. Tidak sampai penuh, karena sebagian besar keluarga yang mempunyai lantai 2 memilih bertahan di rumah saja.Alhamdulillah, banyak muhsinin yang yang langsung berdonasi dari siang. Malam itu pun kami mendapat makanan yang cukup, air minum yang cukup, dan juga kasur tipis maupun karpet untuk alas tidur. Malam terasa sangat panjang. Apalagi ketika tengah malam kembali turun hujan deras. Air takkan surut. Bisa jadi justru makin naik.Saya enggan membayangkan. Saya enggan mengingat-ingat barang apa saja yang mungkin terendam. Saya hanya berharap, Allah memudahkan hati saya untuk ikhlas dan ridho menghadapi pengalaman banjir yang baru pertama kali saya alami.Air memang tidak surut di pagi berikutnya. Namun saya tahu bahwa harapan tak boleh surut. Setelah mengecek kondisi rumah dan mengambil beberapa barang, suami tiba-tiba memutuskan bahwa saya dan anak-anak harus mengungsi ke Surabaya. Syok untuk kedua kali.Tangis saya baru pecah tanggal 2 pagi itu, kala suami menolak argumen saya untuk tetap tinggal di sana. Saya sama sekali tidak sedih melihat rak buku kami terendam saat kami meninggalkan rumah. Saya tidak sedikitpun kecewa melihat mainan dan hasil karya belajar anak-anak terapung di genangan air setinggi pinggang. Namun, ego saya sebagai istri sekaligus ibu untuk bertahan di sana menghadapi semua secara bersama-sama, mendadak berontak.Keputusan suami sudah bulat. “Kita tidak punya banyak waktu. Tugasmu, antar anak-anak ke Surabaya. Setelah itu, akan kupanggil lagi kamu pulang. Kamu bukan lari. Kamu membawa misi dariku, selamatkan anak-anak.”Menyerah untuk kesekian kali dalam 30 jam. Menyerah untuk singgah di hotel saat pejalanan pulang dari Surabaya via tol. Menyerah melihat seisi rumah mulai terendam air. Menyerah saat harus dievakuasi ke masjid karena awalnya saya masih berharap malam itu air akan surut. Menyerah harus berpisah dan mengantar anak-anak ke rumah kakek-neneknya untuk sementara waktu.Anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka masih bisa tertawa dan berlarian dengan ceria saat menginap di masjid. Mereka masih bercerita seru saat kami naik perahu karet untuk keluar dari komplek perumahan kami. Mereka masih tertawa saat air memerciki sebagai pakaian mereka.Lalu, tangis itu pun pecah saat anak-anak menyadari bahwa kami akan naik kereta tanpa Abi. Bergantian, satu persatu mereka menangis di dalam kereta menuju Surabaya. Emosi yang terpendam. Anak-anak yang berusaha tegar lebih dari yang saya harapkan. Saat itulah saya merasa, sungguh besar hikmah dan ibroh yang akan kami petik dari kejadian ini.Hasbunallah wa ni’mal wakil. Ni’mal maula wa ni’man nasir. Qodarullaah wa ma syaa-a fa’alaa. Sungguh, kami terima semua ini sebagai bagian dari takdir Allaah. Tidak akan kami berani hitung-hitungan untung rugi karena seluruh Milik-Nya akan kembali kepada-Nya.