Keluarga, Miscellaneous, renungan

Banjir Pertama dan Pertarungan Ego

Bismillaah…Hari itu, 1 Januari 2020, mungkin akan jadi salah satu momentum yang sulit kami lupakan. Banjir besar melanda sebagian besar wilayah Jabodetabek. Bahkan di wilayah yang biasanya bebas banjir pun, pada akhirnya terdampak. Curah hujan yang besar dan merata di berbagai tempat, menjadikan air seperti berlomba mencari tempat untuk mengalir.Tanggal 1 Januari dini hari, kami baru saja pulang dari perjalanan darat dari Surabaya. Kami tiba di Bekasi Selatan, disambut dengan hujan tapi tidak ada firasat apapun karena hampir separuh perjalanan di tol, kami lalui di tengah hujan deras. Lelah & mengantuk, kami hanya sanggup memboyong anak-anak ke kasur dan meninggalkan barang bawaan tetap di dalam mobil.Jam 4 pagi, saya terbangun seperti biasa. Namun, sempat terdengar suara keras yang juga didengar suami. Suami mengecek ke ruang tengah, tidak ada apapun. Di luar rumah, hujan terdengar sangat deras. “Kok, ada air di lantai?” seruan kaget suami membuyarkan rasa kantuk dan membuat kami segera menelusuri asal air tersebut.Astaghfirullah, air masuk dari celah nat lantai. Merembes pelan dan akhirnya “surprised!” ada air keluar dari lantai dapur yang telah retak. Seperti mata air kecil, air keluar dengan cepatnya dan mengalir ke segala arah mencari jalannya.”Tapi kita belum sholat, gimana ini wudhunya? Kamar mandi sudah terendam.””Segera ke teras. Wudhu dengan air hujan. Ayo segera.”Kami berlari mengambil wudhu, mementingkan sholat Subuh, dan masih berharap air yang masuk tidak bertambah tinggi. Namun, harapan kami sirna ketika hujan tak kunjung reda dan air seperti semakin bertambah terus.Kami menyelematkan apapun yang bisa kami selamatkan. Barang-barang berharga kami tidak banyak. Namun, buku-buku cukup banyak. Di antara kegalauan apa saja yang harus diselamatkan berikutnya, suami memaksa saya menyiapkan kamar gudang di lantai 2. “Bawa anak-anak ke atas dan kamu jaga mereka di sana. Ini banjir besar. Kita ga mungkin melawan.”Syok. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Namun, saya tahu bahwa saya tidak punya pilihan lain. Ingin hati membantu suami menaikkan berbagai barang yang mulai tersentuh air. Namun, saya juga sadar bahwa keempat anak kami membutuhkan orang dewasa untuk mendampingi meski di lantai 2 pasti jauh lebih aman.Saya ingat sebelum saya naik ke lantai 2, saya memeluk suami dan mengatakan bahwa saya siap menghadapi kerugian apapun yang akan kami terima sesudah ini. Jadi saya pesankan ke suami, untuk tidak ngoyo memindahkan barang karena insya Allaah saya pasrah apapun yang terjadi sesudah itu. Tentu saja, suami faham hal itu karena beliau lebih bisa menerima ‘kejutan’ semacam ini dibanding saya.Anak-anak terbangun dengan muka bingung. “Kenapa kita pindah ke kamar atas?”. “Abi di mana?”. “Kapan kita turun?”. “Pingin pipis ke kamar mandi. Gimana cara turunnya?”Sambil menata perbekalan yang kami bawa ke lantai 2, beberapa kali saya memanggil suami untuk memadamkan listrik saja. Awalnya, memang listrik tidak langsung dipadamkan oleh PLN. Saya ketar-ketir kalau ingat air masih terus naik sementara suami masih di bawah.Dua jam berjibaku dengan air, akhirnya suami menyerah. Lelah, pasti sangat lelah. Sedari Subuh suami beberapa kali menaikkan alat elektronik kami ke lantai 2. Namun, tawaran saya untuk kembali turun membantu, pasti ditolak.Akhirnya listrik mati. Gelap. Gerah karena kami berenam berkumpul di kamar 3 kali 3 meter, di antara tumpukan barang-barang. Batere hp mulai menurun, maka hemat sebisa mungkin untuk memantau grup warga.Hujan akhirnya berhenti. Awan mulai tersibak dan langit cerah mulai tampak. Sayangnya, air tidak langsung surut dan kami tetap terjebak.”Akan ada perahu karet SAR nanti sore. Kita istirahat dulu saja sekarang.” Qodarullaah, karena lelah, kami ketiduran dari ba’da zuhur sampai jam 3 sore hari. Kami mendengar suara orang berlalu lalang menerjang air di luar sana. Namun, kami tidak berani keluar. Akhirnya, suami coba pergi ke masjid dan mendapat kabar bahwa perahu karet SAR sudah lewat. Alhamdulillah, untungnya mereka meninggalkan semacam ember besar bekas Bathtub yang bisa untuk evakuasi anak-anak.Kami siapkan 3 anak paling besar dan bekal pakaian secukupnya. Mereka diantar lebih dulu ke masjid oleh suami. Baru setelahnya, suami kembali menjemput saya dan bayi nomor 4.Allahu Akbar. Seluruh rumah terendam. Rumah lama, rumah baru, semua terendam. Tinggi air yang masuk rumah saja yang mungkin berbeda. Alhamdulillah, masjid masih aman dan ternyata sudah cukup banyak orang yang mengungsi ke masjid dari pagi. “Sisi Barat situ, airnya sedada lho, Bu. Semua mobil, kulkas terendam dalam.”. Laa haula wa laa quwwata illa Billaah. Sungguh, kami hanyalah manusia lemah penuh dosa.Tanggal 1 malam, kami lewatkan bersama beberapa keluarga lain di masjid. Tidak sampai penuh, karena sebagian besar keluarga yang mempunyai lantai 2 memilih bertahan di rumah saja.Alhamdulillah, banyak muhsinin yang yang langsung berdonasi dari siang. Malam itu pun kami mendapat makanan yang cukup, air minum yang cukup, dan juga kasur tipis maupun karpet untuk alas tidur. Malam terasa sangat panjang. Apalagi ketika tengah malam kembali turun hujan deras. Air takkan surut. Bisa jadi justru makin naik.Saya enggan membayangkan. Saya enggan mengingat-ingat barang apa saja yang mungkin terendam. Saya hanya berharap, Allah memudahkan hati saya untuk ikhlas dan ridho menghadapi pengalaman banjir yang baru pertama kali saya alami.Air memang tidak surut di pagi berikutnya. Namun saya tahu bahwa harapan tak boleh surut. Setelah mengecek kondisi rumah dan mengambil beberapa barang, suami tiba-tiba memutuskan bahwa saya dan anak-anak harus mengungsi ke Surabaya. Syok untuk kedua kali.Tangis saya baru pecah tanggal 2 pagi itu, kala suami menolak argumen saya untuk tetap tinggal di sana. Saya sama sekali tidak sedih melihat rak buku kami terendam saat kami meninggalkan rumah. Saya tidak sedikitpun kecewa melihat mainan dan hasil karya belajar anak-anak terapung di genangan air setinggi pinggang. Namun, ego saya sebagai istri sekaligus ibu untuk bertahan di sana menghadapi semua secara bersama-sama, mendadak berontak.Keputusan suami sudah bulat. “Kita tidak punya banyak waktu. Tugasmu, antar anak-anak ke Surabaya. Setelah itu, akan kupanggil lagi kamu pulang. Kamu bukan lari. Kamu membawa misi dariku, selamatkan anak-anak.”Menyerah untuk kesekian kali dalam 30 jam. Menyerah untuk singgah di hotel saat pejalanan pulang dari Surabaya via tol. Menyerah melihat seisi rumah mulai terendam air. Menyerah saat harus dievakuasi ke masjid karena awalnya saya masih berharap malam itu air akan surut. Menyerah harus berpisah dan mengantar anak-anak ke rumah kakek-neneknya untuk sementara waktu.Anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka masih bisa tertawa dan berlarian dengan ceria saat menginap di masjid. Mereka masih bercerita seru saat kami naik perahu karet untuk keluar dari komplek perumahan kami. Mereka masih tertawa saat air memerciki sebagai pakaian mereka.Lalu, tangis itu pun pecah saat anak-anak menyadari bahwa kami akan naik kereta tanpa Abi. Bergantian, satu persatu mereka menangis di dalam kereta menuju Surabaya. Emosi yang terpendam. Anak-anak yang berusaha tegar lebih dari yang saya harapkan. Saat itulah saya merasa, sungguh besar hikmah dan ibroh yang akan kami petik dari kejadian ini.Hasbunallah wa ni’mal wakil. Ni’mal maula wa ni’man nasir. Qodarullaah wa ma syaa-a fa’alaa. Sungguh, kami terima semua ini sebagai bagian dari takdir Allaah. Tidak akan kami berani hitung-hitungan untung rugi karena seluruh Milik-Nya akan kembali kepada-Nya.

Miscellaneous

Kehadiran anak ke-4 dan kelanjutan Home Schooling.

Lama tidak menulis, rasanya jari-jemari jadi kaku mau merangkai kata seperti apa. Adanya blog ini awalnya diniatkan untuk lebih banyak berbagi cerita tetapi kenyataannya saya lebih banyak mantengin Instagram ketimbang blog. Pada akhirnya blog ini hanya terisi setiap hampir setahun sekali.

Banyak sekali cerita yang ingin dibagi tapi kadang tenaga yang tidak ada. Lain waktu, saya akhirnya tidak jadi mengunggah bakal tulisan karena khawatir sensitif jika dibaca orang-orang tertentu. Padahal sebenarnya bebas saja sih ya, kan ini blog saya. Yang penting, saya tidak menulis ujaran kebencian. Begitu kan ya.

Singkat cerita, hampir 2 bulan lalu anggota rumah kami bertambah dengan kehadiran seorang bayi mungil. Ya, lagi. Anak ke-4 kami tepatnya. Alhamdulillaah.

Ada hal yang bikin gemas dan ingin dibagi ceritanya tentang kelahiran anak ke-4 ini. Namun, saya bingung harus mulai dari mana karena saking banyaknya kejadian yang mewarnai perjalanan kehamilan ke-4 ini.

Anak ke-4 ini adalah buah perjuangan besar untuk mendapatkannya, penuh ujian kesabaran, dan perjuangan berat untuk menjaga kesehatannya selama dalam kandungan. Alhamdulillaah setelah banyak peristiwa, -termasuk pindahan ke kota lain (ya, pindah lagi, untuk kesekian kali)-, anak lelaki kami lahir dengan sehat dan tanpa kurang suatu apa. Salah satu yang bikin gemas adalah ini pertama kalinya mencoba fasilitas persalinan di Puskesmas. Kesimpulannya, saya gemas dengan layanan kesehatan di Indonesia. Saya berharap ke depannya fasilitas dan layanan kesehatan yang bagus bisa lebih merata dan bisa dirasakan seluruh penduduk Indonesia tanpa ketimpangan. Kapan-kapan deh, saya coba tulis pengalaman terkait layanan kesehatan ini insya Allaah.

Terus, bagaimana rasanya punya empat anak? Rame, masya Allaah. Sekarang pun masih dalam proses mencari ritme kembali agar nyaman untuk semua anggota keluarga. Apalagi kami masih berencana melanjutkan home schooling anak-anak kami secara lebih serius.

Oya, tentang home schooling ini, ada banyak perkembangan yang telah dicapai oleh anak-anak kami. Dua anak yang tertua sudah bisa membaca dan menulis (meski belum lancar) sehingga bagi saya pribadi PR-nya bertambah. Dengan tercapainya kemampuan membaca, anak-anak kami tentunya jadi lebih mudah membaca dan biasanya juga makin sering bertanya tentang tulisan yang mereka temui. Jadi, sebagai orang tua sekaligus pengajar mereka, kami harus lebih banyak belajar dan berhati-hati dalam menjelaskan. Jangan sampai hanya karena lelah sesaat, justru memberikan jawaban yang menyesatkan.

Bakal tetap semangat, insya Allaah, karena istirahat yang sejati itu kelak akan tiba jika kaki kita sudah memasuki surga.

Miscellaneous

Cerita yang Terlewatkan hingga Mesin Jahit Baru

Sebentar lagi Idul Adha atau sering disebut juga Lebaran Haji. Padahal seperti baru kemarin saja lebaran Idul Fitri berlalu. Waktu kadang berasa berjalan begitu cepat ya. Tahu-tahu lewat. 

Syawal kemarin, sebenarnya ada cerita seru yang ingin dibagi. Namun sayangnya, energi tidak mencukupi untuk kembali menulis. Cerita seru sebenarnya. Perjalanan pertama kami “mudik” jarak jauh lintas pulau. Seru karena pertama kali perjalanan jauh ribuan kilometer dengan mobil. Berangkat dari Jogja menuju Palembang, rasanya seperti angkot kejar setoran. Total dua belas hari sampai balik ke Surabaya lagi.

Banyak yang ingin diceritakan. Mulai dari milih hotel, kaget jalanan & kebiasaan berlalu lintas di Sumatra, serunya bawa tiga bocah balita hingga badan yang terasa rompol kayak ayam gepuk tulang lunak.  Sayangnya, iphone saya rusak sedangkan foto2 sebagian besar di sana. Belum sempat back up ataupun mindahin data. Nah kan, jadi balik malas mau ceritanya.

In between. Rasanya antara menyesal dan tidak menyesal kenapa tidak menulis dari awal di sini. Terlalu banyak rencana & keinginan, akhirnya terlewatkan momentumnya.

Tidak sebegitu menyesal sih, karena setidaknya sepulang ke rumah, banyak kegiatan positif yang memang menguras energi. Salah satunya, pencarian mesin jahit. Yes, the portable sewing machine that I dream for so long. Singkat cerita, suami tiba-tiba mengajak beli mesin jahit. He collected almost all of the information and helped me decided which one will suit to me. He paid the machine too, of course. Janome, pilihan kami. Seperti yang sudah diidam-idamkan selama ini. 

Kapan-kapan deh cerita lagi tentang mesin jahit. Bukan penjahit, bukan peserta kursus, bukan pakar, tapi hanya pemula yang nekat belajar otodidak. 

Secuil cerita yang terabadikan di foto perjalanan ke Sumatra waktu itu, seperti ini :

creative, jahitan ummi, produktif, Proyek ummi, sewing

Belajar Menjahit Secara Otodidak dengan Mesin Jahit Mini

You don’t have to wait until being bigger to do something good or to be useful. Just do it right now!

“Ngapain kamu tiba-tiba beli mesin jahit mini gitu? Beneran bisa fungsi gitu?,” tanya suami ketika saya menunjukkan mesin jahit mini yang saya beli. Itu sekitar empat bulan lalu.

“Bisa lah, mari kita buktikan,” jawab saya percaya diri padahal ya sebenarnya tidak yakin juga.

Ikhwal cerita, saya nekat beli mesin jahit mini harga seratusan ribu rupiah karena penasaran. Dulu, ketika masih tinggal di Jepang, saya sempat diantar suami lihat mesin-mesin jahit di beberapa toko. Hampir beli, tapi qodarullaah keduluan rencana untuk back for good, jadi ditunda dulu.Setelah dua tahunan di sini, saya sempat hilang keinginan untuk beli mesin jahit. Namun, keisengan bikin baju untuk anak-anak kambuh & bikin nagih, padahal saya hanya jahit tangan selama ini. Pegel juga kalau mesti jahit tangan terus. Kayaknya butuh mesin jahit deh! Tapi kata suami, kalau tidak benar-benar butuh, tidak boleh.

Ya sudah, dengan duit jajan, pesan daring saja si mesin jahit mini. Itu pun setelah baca banyak review, lihat banyak video tutorial, dan menimbang baik buruknya berpekan-pekan. Jadi, bukan karena kepingin ikut-ikutan orang lain.

Maasyaa Allaah tabaarakallaahu. Hasil kerjanya si mesin jahit mini ini, lumayan lah kalau hanya untuk kebutuhan rumahan kayak kami. Daster & celana bolong, bisa diperbaiki dalam waktu singkat. Beberapa baju anak-anak juga berhasil saya buat hanya dengan si mungil ini. Bahkan saya berhasil menjahit baju rumahan untuk diri saya sendiri pekan lalu. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Hasilnya? Nyaman kok.

Beberapa hasil jahitan dengan mesin jahit mini :

Suami pun takjub ketika lihat saya mengoperasikan mesin jahit mini ini,”Heh, gerak beneran? Kuat gitu jahitannya? Kamu bisa jahit dari mana? Katanya ga pernah nyoba.”

Hasil jahitan, kuat. Tergantung jenis kain & pengaturan tekanan benang juga sih sebenarnya. Namun, sejauh ini, baju-bajunya anak-anak masih tetap oke jahitannya. Tidak ada jahitan yang tiba-tiba lepas.

Belajar jahit dari mana? Dari dalam hati. Bukan ding, yang benar secara otodidak. Saya memang tidak pernah belajar memakai mesin jahit listrik, tapi dulu kala zaman internet belum jadi kebutuhan primer kayak sekarang, saya pernah diajari cara memakai mesin jahit manual. Berhasil? Sukses? Gagal total. Tidak perlu dibahas apa sebabnya.

Dibilang tahu tentang menjahit, ya tidak juga. Namun, dibilang tanpa bekal ilmu menjahit, ya tidak juga. Saat SMP, kelas saya dapat jatah muatan lokal belajar menjahit selama satu tahun. Lumayan lah, setidaknya ada sedikit ilmu dan masih nyantol sampai sekarang.

Ketika di Jepang, saya beberapa kali menjahit baju untuk anak-anak. Jahit tangan. Kainnya bekas gamis baru, -yang ternyata jahitannya tidak bagus jadi dibongkar saja-, maupun kain baru beli di toko kain dan alat jahit.Beberapa jahitan lama saya dengan jahitan tangan :

Kenapa baru sekarang belajar menjahit? Ikutan tren ya? Alhamdulillaah, saya ikut kata hati saja. Saya tidak biasa lirik kanan-kiri soalnya kalau untuk urusan minat & keinginan. Katakan sekarang trennya kue warna hitam misalnya, saya tidak biasa lansung ikutan bikin. Begitupun menjahit ini.

Ya kalau ditanya tentang mulai jahit, ya sudah lama berniat mau beli mesin jahit. Dulu kan proyeksinya bakal lama di Jepang jadi kayaknya butuh bisa jahit untuk kebutuhan sekolah anak-anak. Ternyata baru sekarang terwujud, meski hanya pakai mesin jahit mini. Qodarullaah wa maa sya-a fa’alaa.

Nah, ringkasnya beginilah catatan saya tentang mesing jahit mini ini :

  • Ringkih karena hampir seluruh body-nya dari plastik, kecuali sepatu jahit & jarum pastinya.
  • Hanya bisa satu tipe jahitan, jahitan lurus dasar.
  • Seri yang saya beli, sudah dilengkapi kait pemotong benang, lampu di atas jarum, serta ada buku petunjuk pemakaian.
  • Ada pedal kaki.
  • Ada tombol otomatis untuk jahitan lurus jadi kaki tidak capek nekan pedal.
  • Ada tombol untuk mengatur tempo jatuhnya jarum, mau cepat atau lambat.
  • Tidak bisa untuk kain yang terlalu tipis & licin, atau mungkin bisa tapi saya belum ketemu caranya.
  • Tidak bisa untuk kain yang terlalu tebal.
  • Karena body-nya plastik dan kecil mungil jadi mudah bergeser. Jadi pastikan menjahit di tempat datar dan tidak sambil salto, koprol, atapun meleng sana-sini.
  • Karena hanya bisa jahitan lurus, bisa diakali dengan metode stik balik (french stitch). Jadi tidak perlu obras maupun semi obras. Apalagi kalau orangnya malas keluar rumah seperti saya, pilih stik balik ketimbang cari tukang obras. Stik balik kan jadinya tebal? Tidak dong, kalau pakai cara & trik yang benar. Kapan-kapan ditulis deh, di artikel lain.
  • Tenaganya bisa pakai baterai, jadi bisa dibawa piknik sambil jahit misalnya. Namun, kuat berapa lamanya, saya belum pernah coba.
  • Awet tidak? Belum tahu. Sejauh ini, empat bulan berjalan dan masih sehat & lancar.
  • Cara pakainya bagaimana? Ada banyak tutorial penggunaan mesin jahit mini ini di YouTube. Jadi tidak usah terbawa rumor dari review orang-orang yang gagal paham atau salah pakai mesin jahit ini. Berfungsi kok, beneran.
  • Harganya murah meriah. Lebih murah dari harga skin care impor. Jadi, beli saja kalau ingin latihan. Anggap saja seratusan ribu untuk biaya latihan mandiri.
  • Kenapa belinya mesin jahit mini bukan mesin jahit listrik beneran yang harganya jutaan? Pertama, murah. Kedua, buat latihan saja niatnya. Ketiga, urusan lo apa nanya-nanya? 😀

Begitu dulu catatannya tentang mesin jahit mini. Kapan-kapan berbagi cerita lagi, insyaa Allaah.Seumpama ada yang mbatin,”Halah, segitu doang berani benar cerita di blog.” Maasyaa Allaah tabaarakallaahu, cerita-cerita di blog ini ataupun blog yang lama murni karena saya mau menorehkan ingatan atas pengalaman saya saja sih. Jadi ya tidak ada urusan dengan orang lain :D.

Setiap orang punya tempo & waktunya masing-masing. Ibarat bunga, mekarnya kadang tidak sama meski dari satu pohon bahkan dahan yang sama. So, be wise & be respectful to other’s life.

Miscellaneous

Dari Gorengan hingga Kesombongan

Pagi ini, saya beli tambahan sayur ke Pak Sul, tukang sayur yang biasa buka lapaknya di perempatan komplek kami, sambil setengah berharap bertemu ibu penjual gorengan & susu kedelai. Sebagai warga baru di komplek ini, ya kami pindah ke kontrakan sekitar 1,5 bulan lalu, ternyata tidak bisa langsung hafal ada penjual apa saja yang lewat atau beli barang sebaiknya di warung mana.

Qodarullaah, dedek K terbangun & minta nenen agak lama setelah Subuh. Padahal, saya berencana untuk bikin isian apple pie & masak lauk untuk sehari sambil mengerjakan kerjaan rumah lainnya. Buyarlah itu rencana & berakhir dengan molornya estimasi matangnya masakan. Jadi pergi ke lapak sayuran pun sudah setengah enam. “Ah, sudahlah, pasti sudah lewat si ibunya,” batin saya sambil membayangkan ganjel perutnya dengan tahu isi & susu kedelai. Ah, sudahlah.

Saat saya hendak balik ke rumah, tak dinyana dari arah lain datang si ibu penjual gorengan dengan motornya. Ibunya faham saya berniat beli lalu menepilah di sisi lain.

Ibu ini masih terlihat muda, mungkin awal empat puluhan. Barang jualannya tidak yang begitu banyak, hanya dua wadah ukuran sekitar 40 cm x 50 cm. Kotak tersebut diikat di atas jok bagian belakang. Isinya ada beragam gorengan dari ote-ote/bakwan, pisang goreng, menjes, sampai ubi. Ada juga lemet, ketan, nagasari & susu kedelai yang masih hangat.

“Ini tinggal ambil dari kulakan atau bikin sendiri, Bu?”, tanya saya penasaran.

“Bikin sendiri, Non”

“Maa syaa Allaah, nyiapin dari jam berapa Bu kalau sebanyak ini?”

“Ya ga mesti. Kadang jam 1 malam sudah mulai. Saya takut kesiangan, nanti malah ga kejual.”

Deg! Hati saya terenyuh mendengarnya. Antara jam lima hingga setengah enam, saya tinggal berharap ketemu untuk beli. Tidak perlu repot potong ini itu, goreng-goreng dari pagi buta. Sedangkan di luar sana, banyak keluarga yang mungkin bangun dari tengah malam, masak lalu jualan setelah Subuh. Kadang, agak telat buka sedikit saja, calon pelanggan ada yang menggerutu, “Pagi-pagi belum ada yang buka, niat jual sarapan ga sih?”. Ada yang pernah seperti itu?

Kan, memang resiko pekerjaan yang dipilih kalau harus mulai bekerja tengah malam atau berdiri di depan penggorengan seharian atau apapun lah resiko pekerjaan yang tampak berat lainnya. Iya juga sih. Tapi, bagi saya pribadi, mengamati orang lain yang harus bekerja keras untuk dapat beberapa lembar ribuan, membuat hati lebih banyak bersyukur.

Saya bersyukur tidak harus bekerja di luar sana. Tidak kebayang sih saat ini kalau saya jadi penjual makanan yang harus menyiapkan makanan dari tengah malam. Ya mungkin bisa dibilang, tidak terbayang karena tidak terbiasa juga. Namun, kondisi keluarga kami saat ini, membuat saya pribadi sangat bersyukur masih mendapat rezeki yang lancar & semoga barokah tanpa harus kerja fisik yang melelahkan. Alhamdulillaah saya masih merasa cukup dengan rezeki dari Allaah melalui tangan suami. Semoga ke depannya pun demikian, selalu merasa cukup & bersyukur dengan yang sudah kami miliki.

Di sisi lain, saya juga belajar untuk lebih bisa memanusiakan orang lain. Mereka yang kita temui dalam kehidupan dunia nyata maupun dunia maya, mungkin sudah atau sedang melewati saat sulit dalam hidupnya, mungkin kurang tidur, mungkin lelah, mungkin kurang sehat, mungkin menyimpan kekhawatiran atau ketakutan dan segala macam kesusahan lainnya. Jadi, sebisa mungkin pilih untuk berlemah lembut, bertutur kata santun, tidak mengerdilkan atau meremehkan, tidak merasa benar sendiri, tidak kasar ataupun tidak suudzon. Susah sih prakteknya, tapi sekarang terus berupaya mengingat isi hadits bahwa muslim yang baik adalah yang orang lain selamat dari gangguan lisan & tangannya.

Ngomong-ngomong soal kerja, pernah saya curhat ke Ibu kalau agak sebal dengan sikap orang yang agak sombong karena berstatus ‘wanita yang memilih resign demi menjadi ibu rumah tangga yang baik”. Intinya, sesembak maupun seseibu yang pernah saya temui selalu nyebut tentang “Ya dulu pas kerja…”, atau “Ah kalau pas kerja dulu begini…”, atau bahkan “Oh tapi belum pernah ngerasain dempet-dempetan buat pergi kerja sih ya?”. Kayak pingin lempar dart deh jadinya hahaha. Ya kan gini-gini, saya pernah magang dengan gaji minimalis, juga pernah kerja paruh waktu di salah satu kantor IT & international e-commerce di Tokyo, juga pernah jadi penerjemah -modal nekat-, pernah juga jadi tour guide, dan pernah jualan. Sabar, sabaaaaar…. inhale exhale.Ibu saya bilang,”Ya nanti kalau anak-anak sudah besar, kerjalah.” Lalu kami tertawa dengan ide itu.

Ah, saya jadi ingat tujuan memilih ada di rumah, jadi gurunya anak-anak selagi suami bekerja. Saya jadi sadar bahwa setiap fase yang saya alami, tidak akan hilang meski orang lain tidak mengetahuinya. Saya yang memiliki beragam pengalaman itu. Saya yang menikmati setiap kenangan & hikmah dari kejadian yang pernah terjadi.

Ketika orang lain menyepelekan saya atau menganggap saya bodoh karena dirinya lebih pintar atau pasti lebih tahu, -semacam ‘cause I’m mr/mrs always right, I know everything dari sikap & omongannya-, sebenarnya tidak akan mengurangi apapun dalam diri saya. Sebal sih iya, tapi dia yang rugi sebenarnya karena dengan begitu dia hanya menampakkan ketinggian hati & kesombongan, bukan mengurangi pencapaian saya ^^. Lagipula apa sih yang mau diunggulkan atau disombongkan terhadap orang lain? Lha wong semua yang ada di kita hanya pinjaman dari Allaah Ta’alaa. Semoga saya ingat, besok-besok lagi tidak perlu berdebat yang tidak penting. Mau orang bersikap lebih pintar, lebih tahu, lebih apalah terserah, tidak usah diladeni.

Keluarga, parenting, Pernikahan

Our dearest little Hana


Assalamu’alaikum warahmatullaah wabarakatuh.

Hi, there. After so long hiatus, finally I could manage to write here again. There are so many things happened that I can not share here one by one. The biggest one is my second daughter (third child) was born on April. She is 3 months old now. Khadijah Hana Nurunnisa is her name. We call her Khadijah or Hana (recently, we prefer to call her Hana). Khadijah was the first wife of Prophet Muhammad PBUH. Hana is combination of Japanese & Arabian name. In Japanese, Hana means flower. In Arabian, Hana means happines or joy. 
Kangen banget untuk menulis di sini, tapi selalu saja susah meluangkan waktu untuk sekedar mengetik beberapa kata. Kadang kala, ada keluangan tetapi not in good mood to write. Alasan klasik! 

Alhamdulillaahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat. Keluarga kecil kami bertambah satu anggota baru awal April lalu. Anak ketiga kami lahir dengan selamat dengan kondisi normal & sehat wal’afiat. Ada niatan memperkenalkan sejak awal tapi apa daya, kebanyakan menunda-nunda adanya.

“Hamilnya kapan, kok ga keliatan?”, pertanyaan ini beberapa kali saya dengar. Lalu diikuti pernyataan,”Oh kerudungnya lebar-lebar terus sih jadi ga keliatan.” Hehe, saya sih tidak menutupi kehamilan saya, jadi ya sudah kasih muka nyengir saja :D. Padahal hamil ketiga ini saya gampang banget capek & banyak banget alergi yang muncul. Alhamdulillah ‘alaa kulli hal. Makanya saya jarang keluar rumah karena menghindari terlalu capek sesudahnya. 

Persalinan ketiga kemarin, banyak hal yang berbeda dari dua persalinan sebelumnya. Anggap saja ini persalinan pertama karena memang pertama kali melahirkan di Indonesia yang ternyata lumayan beda dengan yang saya alami waktu di Jepang. Proses melahirkan bayinya sih sama, tapi faktor pendukung sekitarnya yang beda hehe. Alhasil saya sempat deg-degan juga, stres juga, grogi juga, dan surprise…, ada banyak yang akhirnya bikin saya ngakak kalau ingat kejadiannya. Salah satunya, anak ketiga saya akhirnya brojol dengan bantuan bidan junior selagi dokternya keluar entah ke mana (kayaknya sholat Isya deh, atau visit ke kamar pasien). Sepertinya salah perkiraan juga sih. Mungkin dikiranya pembukaan masih bakal nambah sedikit seperti sebelumnya. Saya memang baru pembukaan enam padahal sudah pecah ketuban sejak satu jam sebelumnya dan selama satu jam itu pembukaannya tetap. Disuruh pasang infus dengan obat induksi tapi ternyata tidak juga dipasang oleh bidannya. Akhirnya keburu brojol duluan secara alami. Kayaknya anak-anak saya memang kudu “diancam” dulu baru mau keluar. 

Semoga baby Hana jadi anak sholihah, qurrota a’yun dan taat. Saya sudah makin penasaran bagaimana ramainya jika nanti ketiga anak ini main bersama. Sekarang saja ramai sekali kalau ketiganya bersuara berbarengan, entah itu menangis, ketawa, atau ngomong berbarengan. Pusing? Iya tapi masih banyak ketawa ngakaknya kok. Kayak mudik lebaran kemarin, bawa tiga balita cukup melelahkan tapi alhamdulillaah semua terlewati dengan ceria secara keseluruhan. Jadi ya jalani saja, tidak usah berandai-andai. Tinggal bagaimana bersyukur dan mempertebal kesabaran saja ^^. Semua pasti akan terlewati, biidznillaah. 

Miscellaneous

Meh! 

Konsisten untuk tidak konsisten. 

Bingung kan? Sama, saya juga bingung. Namun, kenyataan ini banyak di kehidupan sehari-hari kita, termasuk saya sendiri tentunya. 

Kita kadang bilang bahwa kita berprinsip A, B, C hingga Z, (silakan pilih sendiri) dan berkata lantang, “Aku konsisten, tidak akan melanggarnya barang sekali pun.” Nyatanya? Iya sih, tidak sekali dilanggar, tapi dua kali, tiga kali, empat kali, berkali-kali. “Ya kan kali ini aja.” “Ya kan kali pengecualian.” “Ya kan hari ini capek, sesekali ga papa lah.” Ya kali lupa sudah bilang mau konsisten.

Manusia memang tempatnya khilaf dan lupa sih, tidak perlu dipungkiri lagi. Nah makanya, tidak usah sombong dengan bilang “tidak bakal ngelakuin” atau “tidak akan melanggar” sesuatu. Kita itu ya, sukanya ke orang lain bisa tajam, galak, tegas tapi ke diri sendiri penuh dengan permakluman dan kelonggaran. Amai to aimai. Kalau orang lain yang tidak sesuai dengan prinsip atau pendapat kita, ditegur lah, disindir lah, dikomentari negatif lah. Namun kalau diri sendiri yang melakukan hal sama, kenapa tidak ditegur sendiri? Kenapa tidak lantang bilang salah? Karena kita lupa (atau tidak sadar) bahwa orang lain mungkin tidak tahu dan tidak peduli dengan prinsip, kebiasaan, ataupun aturan hidup kita. So, be nice, keep calm & stay positive thinking. Speak good or remind silent ^^. 

*efek habis baca sesuatu yang menunjukkan perilaku bertolak belakang dengan pernyataan yang biasa digembor-gemborkan*

Miscellaneous

Tangan Mungil yang Dinanti

Pekan lalu, kami tanpa sengaja bertemu dengan salah satu kakak kelas suami dan istrinya. Awalnya, hanya suami dan sang kakak kelas yang ngobrol macam-macam, mulai dari pekerjaan hingga tempat kajian (yang ternyata sama, alhamdulillaah). Saya cukup mengawasi anak-anak yang berlarian ke sana ke mari saja. Singkat cerita, saat suami harus harus ke toilet, saya sempat ngobrol dengan istrinya sang kakak kelas tadi.

Sebenarnya obrolan kami hanya pendek karena nomor antrian saya segera tiba. Namun obrolan  singkat itu sempat membuat saya terharu dan nyaris tak bisa menahan air mata karena mendengar kesabaran cerita mereka. 

Pasangan tadi sedang menanti buah hati pertamanya yang masih dalam kandungan usia 14 pekan. Tentunya baru saja melewati keseruan tahap pertama yang isinya mual, muntah, lemes, pusing dan semacamnya. Si mbak terlihat tenang dan tanpa saya minta menjelaskan bahwa mereka sudah lama menanti kehamilan tersebut. Berapa tahun sih lama itu? Mereka menanti tujuh tahun dan baru sekarang diberikan amanah itu. Maa syaa Allaah, kesabaran yang luar biasa menurut saya. Yang bikin kaget lagi, mereka tanpa coba ikut program terapi kesuburan atau kehamilan atau apapun. Ya intinya, keep trying and praying saja.

Ada tiga hal yang sangat saya garis bawahi setelah mendengar cerita mereka. Pertama, anak itu adalah bagian rezeki dari Allaah. Siapa bakal diberi anak berapa banyak dan kapan waktunya, hanya Allaah yang tahu. Kedua, kesabaran yang batasnya hanyalah kematian. Sabar itu bukan terbatas satu dua jam, satu tiga tahun, ada kalanya harus seumur hidup. Ketiga, do’a itu adalah senjata utama muslim.  Tahu kisahnya Nabi Yahya & Nabi Ibrahim kan? Mereka juga sempat harus berdo’a terus dalam waktu lama hingga memperoleh keturunan. Bahkan Nabi Yahya sampai berusia lanjut usia pun masih terus berdo’a memohon keturunan. Kita sudah berdo’a berapa lama lalu jenuh dan putus asa? Kita sudah bersabar seperti apa hingga pantas bilang Tuhan tidak adil? Ikhtiar bisa beragam asalkan dengan cara halal sedangkan sabar dan do’a itu wajib dihadirkan.

Ah, apalah saya ini, hanya sebutir debu di dunia ini. Saya masih harus banyak belajar tentang kesabaran dan keikhlasan dari teman-teman yang masih berjuang memperoleh momongan. Banyak kisah yang membuat saya harus banyak bersyukur, sangat bersyukur atas kondisi saya. Saya dan suami selalu berusaha saling mengingatkan, saat kami capek karena menghadapi polah tingkah anak-anak, saat itu pula kami harus ingat bahwa amanah ini besar konsekuensinya. Urusannya langsung dengan Allaah. Apapun kondisi kami saat ini, dengan segala warna-warni suka duka membesarkan & mendidik anak, kami harus banyak bersyukur kami diberikan amanah ini. Saat lelah dengan semua ini, saya hanya perlu mengingat bahwa di luar sana masih sangat banyak yang berharap ada tangan mungil yang digenggan tapi tak kunjung ada. Alhamdulillaah, in syaa Allaah saya tidak akan menyia-nyiakan rezeki & nikmat dari Allaah ini tentunya. 

Miscellaneous

Musim Panas Itu…

Panas. Suhu di atas 33 derajat Celcius dan suara semi (cicada/serangga musim panas) terdengar jelas dari arah pepohonan. Angin kering sesekali bertiup tanpa meninggalkan kesejukan. Kering menyerang kerongkongan begitu cepatnya.

Silau. Matahari serasa hanya sehasta di atas kepala. Ke mana kaki melangkah di luar rumah, rasanya pasti hanya akan menemui panas. Tak heran jika ada pohon di perempatan jalan, pasti penuh orang mencari bayang-bayang dan sedikit kesejukan saat menunggu lampu berganti. Rasa-rasanya selalu pingin kabur ke dalam ruang berpendingin ruangan, menyeruput es kopi dan nunut tidur barang sejenak.

——–

Itu ingatan saya akan musim panas di Jepang. Beberapa hari terakhir tiba-tiba sangat kangen suasana musim panas di Jepang. Terutama suasana di kamar pojok di lantai 6 salah satu asrama di Tokyo. Ketika jendela sedikit dibuka langsung terdengar suara serangga khas musim panas dari seberang jalan yang merupakan hutan kecil. Entahlah, suara serangga dan suasana panas dengan sesekali angin sejuk yang tak seberapa itu justru lebih berkesan ketimbang suara furin (gantungan dari kaca) di teras. 

Saya tahu di Indonesia sekarang sedang musim hujan dan di Jepang sedang musim dingin. Mungkin itu yang membuat saya rindu suasana musim panas di Jepang. Di sini gerah dan panas sih, tapi beda rasanya. Bedanya apa? Ya beda saja rasanya. Mungkin ya, mungkin juga ini perasaan saya saja, karena saya bisa menikmati kakigori (es serut) atau es kopi sambil cari keteduhan di bawah pohon di sebuah taman, pakai earphone, sambil baca buku. Kayaknya kok suasananya summer banget. Berasa beda dengan nongkrong di warung beli sup buah misalnya.

Ah, jadi makin kangen suasana musim panas di Jepang (seriusan?! Orang ke Jepang yang dipinginin salju atau Sakura kali. Haha, kan anti-mainstream). Banyak kenangan lah di beberapa musim panas yang pernah saya lalui. Kenangan-kenangan yang kadang bikin ketawa geli ataupun ngakak kalau diingat. Termasuk berpanas-panas di dapur pas puasa misalnya. Ah, dapur-dapur itu, jadi kangen. 
Sekarang lagi “not in the mood of cooking” . Pingin sih, tapi tidak ada dorongan kuat untuk eksperimen kayak dulu. Bukan doyan jajan juga, jadi tidak lagi coba resep barunya bukan karena tergantikan oleh jajan. Padahal dulu pas masih di asrama, rela antri kompor dan oven. Pas sudah nikah juga rela mondar-mandir di dapur sempit nan berantakan itu demi mencoba resep baru. Sekarang, saya angkat bendera putih, menyerah. Entah kapan mau mulai lagi yang jelas tidak dalam waktu dekat ini. Seems like I lost my passion :(. Bukan ganti hobi lain juga sih. 

Kesimpulannya apa? Saya kangen suasana summer yang itu, yang itu lho. Yang bikin saya rela jalan kaki beberapa kilo, atau naik susah payah ke Gunung Fuji, atau dorong stroller demi beli eskrim dan buah, atau main bareng suami sampai malam yang tidak kerasa sudah malam. Karen musim panas di Jepang, biasanya ada Himawari yang memberi sedikit nuansa berbeda pada dunia. 

Miscellaneous

Bajuku Dulu Tak Segini

2016/01/img_3568.jpg

(Keterangan: foto bersama Abu pada akhir Juli dan foto sendirian di awal Januari. Dalam enam bulan, baju Dedek M sudah cingkrang!)

Akhir-akhir ini lagi suka bikin baju buat Dedek M dari kain sisa. Saya kepingin juga bikin buat Mas N tetapi qodarullaah belum ada kain dengan motif yang pas. Awalnya bikin baju untuk Dedek M itu biar ada baju panjang ketika dia diajak keluar rumah terutama saat ke kajian. Ya tidak mengapa juga sih kalau mau dipakaikan baju anak-anak biasa yang berlengan pendek. Namun kok rasanya ada yang bikin saya tidak sreg. Mungkin karena ada niatan untuk mengenalkan juga tentang konsep menutup aurat dalam Islam meski dia masih balita.

Kembali ke masalah baju, sebelum balik ke Indonesia saya sempat membuatkan baju sepasang untuk Mas N dan Dedek M (iyaaaaa, sempat-sempatnya padahal sibuk banget dengan pindahan yang aslinya energy consuming, time consuming dan bikin stres juga…, a little bit) yang Alhamdulillaah masih bisa dipakai sampai sekarang. Setelah saya perhatikan, rok Dedek M ternyata sudah cingkrang. Sekitar enam bulan lalu, bajunya masih agak kepanjangan. Kalau dia berdiri tegak, ujungnya nyaris menyentuh lantai seperti tampak di foto. Kemarin saya amati, ujung roknya sekarang sudah di atas mata kaki malahan. Untung bagian ujung roknya dulu sengaja saya lebihkan lipatannya jadi ini nanti masih bisa dipanjangkan agar tidak terlalu cingkrang. Cingkrang juga tidak apa-apa sih, tapu kok rasanya panjangnya nanggung. Sudah tidak panjang penuh, tapi juga bukan potongan tujuh perdelapan. Kalau bajunya Mas N, tidak terlalu tampak karena atasan saja. Namun, sama saja aslinya, sudah mulai kekecilan juga terutama panjang lengan dan bajunya. Kalau lebarnya sih, anaknya tidak tambah gemuk, jadi ya masih muat.

Ternyata, kalau bikin baju sendiri buat anak, rasanya beda dengan kalau beli jadi. Setiap kali memakaikan, kadang masih terbayang rasanya dulu waktu bikin seperti apa waku-waku-nya (deg-degan, antusias). Masih teringat juga tiap do’a yang tersisip di tiap tahapan pembuatannya berikut rasa bahagia ketika melihat anak-anaknya begitu sumringah dan semangat ketika diminta mencoba pertama kalinya (lebay ya! Tapi biarlah saya nikmati ke-lebay-an ini sebagai bagian dari motherhood experience saya). Makanya setiap memakaikan, selalu sambil mengamati tentang perubahan tinggi mereka dan perubahan baju mereka. Namanya juga pertama kali bikin sendiri, masih harus banyak belajar tentang memilih bahan dan model biar mereka tetap nyaman meski sudah berkali-kali pakai. Kalau baju yang hasil beli atau dikasih orang, jarang sekali saya perhatikan perubahannya. Palingan, kalau sudah tidak muat ya sudah, dipensiunkan sementara lalu masuk lemari karena siapa tahu bisa buat adik-adiknya kelak. Yang jelas, saya sekarang belum bosan dan semoga tidak bosan untuk membuatkan baju ataupun benda lain untuk anak-anak. Ah, rasanya tidak sabar memulai proyek baru lagi tapi masih harus menyelesaikan satu proyek sisipan untuk Dedek M dulu.