creative, jahitan ummi, produktif, Proyek ummi, sewing

Belajar Menjahit Secara Otodidak dengan Mesin Jahit Mini

You don’t have to wait until being bigger to do something good or to be useful. Just do it right now!

“Ngapain kamu tiba-tiba beli mesin jahit mini gitu? Beneran bisa fungsi gitu?,” tanya suami ketika saya menunjukkan mesin jahit mini yang saya beli. Itu sekitar empat bulan lalu.

“Bisa lah, mari kita buktikan,” jawab saya percaya diri padahal ya sebenarnya tidak yakin juga.

Ikhwal cerita, saya nekat beli mesin jahit mini harga seratusan ribu rupiah karena penasaran. Dulu, ketika masih tinggal di Jepang, saya sempat diantar suami lihat mesin-mesin jahit di beberapa toko. Hampir beli, tapi qodarullaah keduluan rencana untuk back for good, jadi ditunda dulu.Setelah dua tahunan di sini, saya sempat hilang keinginan untuk beli mesin jahit. Namun, keisengan bikin baju untuk anak-anak kambuh & bikin nagih, padahal saya hanya jahit tangan selama ini. Pegel juga kalau mesti jahit tangan terus. Kayaknya butuh mesin jahit deh! Tapi kata suami, kalau tidak benar-benar butuh, tidak boleh.

Ya sudah, dengan duit jajan, pesan daring saja si mesin jahit mini. Itu pun setelah baca banyak review, lihat banyak video tutorial, dan menimbang baik buruknya berpekan-pekan. Jadi, bukan karena kepingin ikut-ikutan orang lain.

Maasyaa Allaah tabaarakallaahu. Hasil kerjanya si mesin jahit mini ini, lumayan lah kalau hanya untuk kebutuhan rumahan kayak kami. Daster & celana bolong, bisa diperbaiki dalam waktu singkat. Beberapa baju anak-anak juga berhasil saya buat hanya dengan si mungil ini. Bahkan saya berhasil menjahit baju rumahan untuk diri saya sendiri pekan lalu. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Hasilnya? Nyaman kok.

Beberapa hasil jahitan dengan mesin jahit mini :

Suami pun takjub ketika lihat saya mengoperasikan mesin jahit mini ini,”Heh, gerak beneran? Kuat gitu jahitannya? Kamu bisa jahit dari mana? Katanya ga pernah nyoba.”

Hasil jahitan, kuat. Tergantung jenis kain & pengaturan tekanan benang juga sih sebenarnya. Namun, sejauh ini, baju-bajunya anak-anak masih tetap oke jahitannya. Tidak ada jahitan yang tiba-tiba lepas.

Belajar jahit dari mana? Dari dalam hati. Bukan ding, yang benar secara otodidak. Saya memang tidak pernah belajar memakai mesin jahit listrik, tapi dulu kala zaman internet belum jadi kebutuhan primer kayak sekarang, saya pernah diajari cara memakai mesin jahit manual. Berhasil? Sukses? Gagal total. Tidak perlu dibahas apa sebabnya.

Dibilang tahu tentang menjahit, ya tidak juga. Namun, dibilang tanpa bekal ilmu menjahit, ya tidak juga. Saat SMP, kelas saya dapat jatah muatan lokal belajar menjahit selama satu tahun. Lumayan lah, setidaknya ada sedikit ilmu dan masih nyantol sampai sekarang.

Ketika di Jepang, saya beberapa kali menjahit baju untuk anak-anak. Jahit tangan. Kainnya bekas gamis baru, -yang ternyata jahitannya tidak bagus jadi dibongkar saja-, maupun kain baru beli di toko kain dan alat jahit.Beberapa jahitan lama saya dengan jahitan tangan :

Kenapa baru sekarang belajar menjahit? Ikutan tren ya? Alhamdulillaah, saya ikut kata hati saja. Saya tidak biasa lirik kanan-kiri soalnya kalau untuk urusan minat & keinginan. Katakan sekarang trennya kue warna hitam misalnya, saya tidak biasa lansung ikutan bikin. Begitupun menjahit ini.

Ya kalau ditanya tentang mulai jahit, ya sudah lama berniat mau beli mesin jahit. Dulu kan proyeksinya bakal lama di Jepang jadi kayaknya butuh bisa jahit untuk kebutuhan sekolah anak-anak. Ternyata baru sekarang terwujud, meski hanya pakai mesin jahit mini. Qodarullaah wa maa sya-a fa’alaa.

Nah, ringkasnya beginilah catatan saya tentang mesing jahit mini ini :

  • Ringkih karena hampir seluruh body-nya dari plastik, kecuali sepatu jahit & jarum pastinya.
  • Hanya bisa satu tipe jahitan, jahitan lurus dasar.
  • Seri yang saya beli, sudah dilengkapi kait pemotong benang, lampu di atas jarum, serta ada buku petunjuk pemakaian.
  • Ada pedal kaki.
  • Ada tombol otomatis untuk jahitan lurus jadi kaki tidak capek nekan pedal.
  • Ada tombol untuk mengatur tempo jatuhnya jarum, mau cepat atau lambat.
  • Tidak bisa untuk kain yang terlalu tipis & licin, atau mungkin bisa tapi saya belum ketemu caranya.
  • Tidak bisa untuk kain yang terlalu tebal.
  • Karena body-nya plastik dan kecil mungil jadi mudah bergeser. Jadi pastikan menjahit di tempat datar dan tidak sambil salto, koprol, atapun meleng sana-sini.
  • Karena hanya bisa jahitan lurus, bisa diakali dengan metode stik balik (french stitch). Jadi tidak perlu obras maupun semi obras. Apalagi kalau orangnya malas keluar rumah seperti saya, pilih stik balik ketimbang cari tukang obras. Stik balik kan jadinya tebal? Tidak dong, kalau pakai cara & trik yang benar. Kapan-kapan ditulis deh, di artikel lain.
  • Tenaganya bisa pakai baterai, jadi bisa dibawa piknik sambil jahit misalnya. Namun, kuat berapa lamanya, saya belum pernah coba.
  • Awet tidak? Belum tahu. Sejauh ini, empat bulan berjalan dan masih sehat & lancar.
  • Cara pakainya bagaimana? Ada banyak tutorial penggunaan mesin jahit mini ini di YouTube. Jadi tidak usah terbawa rumor dari review orang-orang yang gagal paham atau salah pakai mesin jahit ini. Berfungsi kok, beneran.
  • Harganya murah meriah. Lebih murah dari harga skin care impor. Jadi, beli saja kalau ingin latihan. Anggap saja seratusan ribu untuk biaya latihan mandiri.
  • Kenapa belinya mesin jahit mini bukan mesin jahit listrik beneran yang harganya jutaan? Pertama, murah. Kedua, buat latihan saja niatnya. Ketiga, urusan lo apa nanya-nanya? 😀

Begitu dulu catatannya tentang mesin jahit mini. Kapan-kapan berbagi cerita lagi, insyaa Allaah.Seumpama ada yang mbatin,”Halah, segitu doang berani benar cerita di blog.” Maasyaa Allaah tabaarakallaahu, cerita-cerita di blog ini ataupun blog yang lama murni karena saya mau menorehkan ingatan atas pengalaman saya saja sih. Jadi ya tidak ada urusan dengan orang lain :D.

Setiap orang punya tempo & waktunya masing-masing. Ibarat bunga, mekarnya kadang tidak sama meski dari satu pohon bahkan dahan yang sama. So, be wise & be respectful to other’s life.

Bayi, creative, education, Keluarga, Pernikahan, produktif, Refreshing

Baju Kembar untuk Anak-anak (Bagian 1) 

  

   


Yatta! Alhamdulillaah alladzi bini’matihi tatimus sholihat. Rasanya puas & lega akhirnya bisa menyelesaikan proyek pertama buat bayi N. Ini modelnya pinginnya semacam baju koko, biar tidak perlu pakai kancing. Maklum, masih amatiran dan jahitnya hanya pakai tangan. Jadi buat kancingnya pakai yang kancing jepret aja. Rencananya in syaa Allah bikin baju dengan motif dan warna kembaran untuk N & M. Anaknya bukan kembar tapi dikembarin sesekali tidak mengapa kan ya. 

Pinginnya “two days project” tapi apa daya harus pergi ke sana-sini jadinya ketunda dan hampir sepekan baru selesai. Jiahaha, amatiran tidak tahu malu ya begini ini. Belum pernah belajar pola jahitan dan lain-lain tapi gayanya sok mau selesai cepat.  

Reaksi pertama bayi N saat diminta mencoba calon bajunya adalah senyum-senyum lalu tiba-tiba bilang “Allahu akbar” dilanjutkan gerakan sholat. Maksud saya memang bikin baju koko tapi tidak saya jelaskan ke bayi N kalau ini baju koko, buat sholat atau sejenisnya. Jadi saya lumayan kaget ternyata reaksinya seperti itu. 

Bayi N kelihatan senang tiap kali diminta coba bajunya. Saya sempat khawatir dia bakalan menolak. Ternyata dia malah antusias buat pakai terus-menerus. Alhamdulillah… Semoga itu artinya dia nyaman memakai baju hasil percobaan nekat saya ^^.

Oya, ini sebenarnya proyek baju kembaran kakak-adik. Sisa kainnya in syaa Allah akan dibikin buat baju bayi M nantinya. Biidznillah semoga jadi lagi. Soalnya ini kemarin juga dengan pola kira-kira hasil mix-match informasi dari sana-sini. Masih belum rapi, tapi buat saya ini pengalaman berharga dan terhitung nekat. Kali ini kainnya sengaja beli baru. Pas bikin lumayan deg-degan karena takut gagal. Apalagi saya suka banget warnanya jadi kalau sampai gagal kan bakal nyeseknya dobel hihi. Alhamdulillah dikasih kemudahan dan kelancaran oleh Allah jadi belajar otodidak saya ada hasilnya. 

creative, Keluarga, Miscellaneous, Pernikahan, produktif

Baju Jahitan Tangan untuk Bayi M

Dulu saya lumayan tomboy, tidak bisa masak, tidak bisa jahit, tidak suka dandan (sampai sekarang…, entah kenapa rasanya kalau pakai make up kok kayak bertopeng), tidak bisa bernyanyi, tidak bisa main musik (alhamdulillah, jadi ninggalin hubungan dengan musik jadi lebih mudah), dan sederetan ketidakbisaan yang lain.  

Waktu berlalu, saya harus hidup sendiri di negara lain. Kalau tidak bisa masak dan tidak cukup banyak uang untuk jajan makanan siap saji (itupun belum tentu Halal kan), terus mau manggil bantuan dari mana coba? 

Singkat cerita, saya bisa sesuatu karena kepepet kondisi. Saya bisa sesuatu karena butuh. Saya bisa sesuatu karena ingin berhemat. Saya suka belajar secara otodidak, tanpa didikte, dan harus muncul dari keinginan saya sendiri. Saya belajar karena saya ingin lebih dari diri saya di masa lalu, bukan lebih dari orang lain. Pembanding terbaik itu, kondisi diri sendiri di masa lalu, bukan orang lain. Kita orang beruntung jika hari ini lebih baik dari sebelumnya, bukan sebaliknya. 

Kini, akhirnya satu hal lagi yang saya mulai coba yaitu menjahit. Hanya jahitan tangan, modal otodidak baca sana-sini dan ingatan tentang dasar menjahit yang sudah hampir hilang. Sebenarnya sudah pingin bisa dari zaman belum nikah dulu, zaman masih sekolah. Tapi ya itu tadi, kalau belum kepepet, belum terpicu deh kemauannya. Yokunai, yokunai, yokunai!

Di luar sana, banyak perempuan yang lebih pandai menjahit dan saya salut pada mereka. Menjahit itu susah, butuh ketelitian dan telaten. Orang yang grusa-grusu macam saya benar-benar ujian kesabaran saat mulai belajar menjahit. Tapi ini sudah jadi komitmen saya, saya akan terus belajar hal baru sampai akhir hayat. Biidznillah semoga Allah memudahkan saya untuk mempelajari hal bermanfaat terutama tentang Islam. 

Lalu, inilah salah satu hasil iseng-iseng -yang semoga- bawa barokah: baju untuk bayi M. Hasil potong sana-sini dari gamis bekas punya saya yang sudah rusak. Daripada dibuang begitu saja, coba dibuat baju kecil saja. Awalnya lihat pola baju gamis saya saja, yang paling sederhana, yang tidak macam-macam modelnya. Lalu cari tahu cara pasang resleting, bikin lengan baju dan seterusnya. Jadi ini bukan baju besar terus dipotong pinggirannya doang, tapi memang dijahit dari potongan-potongan. Karena seringnya modal kira-kira saja, jadinya kadang malah mindon gaweni, harus mengulang bikin beberapa bagian. Lihat kan, betapa tidak telatennya saya. Alhamdulillah jadi juga meski masih berantakan. Modal kemauan baca petunjuk di internet saja dan modal nekat pastinya. Saya mah gitu orangnya, suka malas (malas ngurangin isi dompet :D) kalau suruh ambil kursus. Begitulah, pokoknya yang penting saya senang sudah bisa nambah hal baru. 

  

Bayi, islam, japan, Keluarga, Pernikahan, produktif, renungan, social & culture

Atashi no Mainichi (Rutinitas Harianku)

Judulnya “sok iye” gitu ya, kayak sibuk ala mahasiswa atau profesional gitu, padahal cuman catatan hariannya ibu rumah tangga. Kali ini tujuannya buat mengingatkan diri sendiri untuk pandai bersyukur atas begitu banyak nikmat dari Allah. Anggap saja ini pencitraan karena kejadian semacam ini tidak mesti ada tiap hari hahaha.  (Peringatan: yang sudah malas baca, lebih baik langsung tutup blog ini dari awal, tidak perlu dilanjutin ya :D)
Bikin bento buat makan siang suami adalah rutinitas pagi di hari kerja. Kalau mood difoto, selebihnya yang penting jadi dan masuk tas suami.

 

Kalau ada tenaga, bikin kue atau apapun. Kami menyebutnya renshuu (praktikum :p). Kalau jadi bagus, Alhamdulillah, tidak jadi pun tetap Alhamdulillah. Kalau saya pribadi, ini bagian dari refreshing. Siapa tahu kelak saya bisa punya usaha di bidang makanan hihi… (Mohon diaminkan ya^^) 
Masak buat harian, menunya seadanya saja.  Kalau pas “mewah” kayak di bawah ini. Kalau pas tidak sempat masak, larinya ke kombini beli onigiri (nasi kepal).

Dari semua aktifitas, paling banyak porsinya sih mengurus dan menemani main anak-anak baik di dalam maupun luar rumah. Tidak setiap hari kami jalan-jalan atau bermain di luar karena kadang jam tidur siang anak-anak tidak bersamaan atau kesorean.    

 
Kalau akhir pekan, kadang belanja atau main ke mall (tidak tiap pekan ya) atau sekedar guling-guling berempat di rumah.  

  

 
Kok tidak ada bagian beres-beres rumah, bersih-bersih toilet, dan sebagainya? Kan saya sudah bilang di awal, anggap saja pencitraan makanya yang ditampilin yang bagus-bagus saja. Yang berat, yang capek, yang bikin stres, yang bikin sedih, yang tidak perlu dikeluhkan kepada manusia, biar saya simpan sendiri. Lagipula itu hanya sebagian, sebagian lainnya saya masih bisa browsing resep, nonton episode terbaru Detective Conan, nantangin suami main apalah di rumah dan hal remeh temeh tapi bikin happy lainnya.  Yang religius, biar jadi urusan saya dan Allah saja ^^.
Catatan untuk muhasabah diri dan lebih banyak bersyukur:

  • Rezeki tak terukur nilainya yaitu masih bisa bangun pagi tanpa sakit yang butuh pengobatan mahal (bayangkan pagi-pagi harus beli O2 buat hidup sehari penuh, berapa duit?!), bisa kumpul bareng keluarga (begitu banyak keluarga terpisah karena perang di luar sana), ada bahan makanan buat dimasak, ada tenaga buat masak, masih ada rumah buat berteduh, ada pekerjaan bagi suami dan seterusnya yang mungkin tidak akan ada habisnya menghitung nikmat dari Allah.
  • Anak dua usianya deketan. Repot  dan itu wajar. Tapi, ini sungguh rezeki luar biasa sementara di luar sana tak sedikit yang mendambakan anak bertahun-tahun tapi tak kunjung ada, tak sedikit yang menghabiskan dana banyak untuk program hamil. Sungguh, semua kejadian adalah atas kehendak Allah. Kami pun sekedar menjalani takdir dengan mencoba bertawakal dan bersabar. Allah memberikan nikmat yang terbaik maupun ujian bagi manusia sesuai takaran kemampuannya masing-masing. Kami tidak lebih baik dari siapapun.
  • Dunia adalah tempat berlelah-lelah mengumpulkan tabungan untuk pulang ke rumah yang sebenarnya, kampung halaman di surga. 
  • Sukses itu kalau berhasil masuk surga. Jadi kalau sekedar sukses di dunia, itu bukan kesuksesan yang hakiki, bisa jadi justru ujian di dunia. Jadi, jangan sampai tertipu dan terlena. Garis finish masih jauh. 
  • Lakukan hal bermanfaat, tinggalkan hal yang sia-sia. Hal yang sia-sia salah satunya adalah sibuk mengurusi kehidupan orang lain :D, komentar yang tidak penting di urusan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, atau sejenisnya. 
  • Iri pada kehidupan orang lain yang tampak bahagia, sejahtera, aman sentosa sepanjang masa? Hoho, coba tilik kehidupan sendiri dulu, mau tidak sisi yang gelap, yang gagal, yang salah, yang penuh aib, yang penuh dosa diketahui orang lain? Tentu tidak. Nah, bisa jadi yang kita lihat sisi enaknya saja, sisi susahnya disimpan rapat-rapat oleh mereka. Makanya kalau lihat kebaikan pada orang lain ucapkan maa syaa Allah dan barakallah. Terus, daripada iri terus timbul hasad dan hal buruk lainnya, mending fokus perbaiki hidup sesuai tujuan masing-masing. Standarnya gampang, yang mau dilakukan sesuai hukum Allah dalam Al Qur’an dan sunnah tidak. Standar duniawi sih tidak usah diambil pusing. Lagipula, kalau tahu orang laih butuh jatuh bangun juga untuk mencapai kehidupannya yang tampak sukses, belum tentu kita juga mau. Manusia mah gitu, mau sisi enaknya saja. Uups :D. Astaghfirullah…
  • Hidup saya tidak lebih baik dari siapa pun karena masing-masing kita sudah dapat porsi terbaik menurut Allah? Masih tidak percaya? Berarti kurang tawakal kepada Allah. Masih merasa kurang? Berarti kurang bersyukur kepada Allah. 
  • Syukur itu menambah dan melipatgandakan nikmat. Bahagia bukan benda yang bisa dibeli, tapi diwujudkan dari hati. Allahu a’lam. 
islam, Japan, Keluarga, Miscellaneous, produktif

Perjuangan Mengirim Barang Pindahan

Kali ini mau cerita sedikit ah tentang salah satu persiapan back for good. Salah satu yang penting adalah mengirim barang-barang ke Indonesia. Berhubung saya dan suami terhitung sudah cukup lama di Jepang, barang-barang lumayan banyak. Apalagi kan ibaratnya ini seperti isi dua apato digabungin. 

Pertama yang kami lakukan adalah mencari info tentang pengiriman barang. Yang terpikir saat itu adalah jasa pengiriman barang dengan kontainer milik Pak Ruswan. Dalam setahun hanya ada dua kali pengiriman di bulan April/Mei dan  September/Oktober, sementara kami berencana meninggalkan Jepang sekitar bulan Juli. Akhirnya, dengen beberapa pertimbangan kami milih daftar yang bulan April saja. Sekitar Desember kami daftar lalu Januari dapat pembagian kelompok. Bulan Februari kami diminta mengirimkan daftar barang yang akan dikirim dalam bentuk fix atau dengan kata lain nanti pas kirim beneran, isinya seperti daftar itu persis. Akhir bulan Maret, pengiriman barang-barang kami ke gudang di pelabuhan Yokohama. 

Oya, salah satu alasan kami memilihi jasa pengiriman milik Pak Ruswan adalah ini jauh lebih murah daripada pengiriman via pos pastinya. Jasa pelayanannya juga sudah terpercaya bertahun-tahun. Ada juga sih jasa pengiriman barang pindahan semacam Mitsui Soko (padahal teman kuliah saya pensiunan dari sana dan pernah cerita bagaimana mereka jaga kualitas kerjanya) tapi rasanya bakal tidak bersahabat dengan budget kami. Lagipula kami masih akan ada di Jepang saat pengiriman barang, artinya kami tidak terburu-buru dan bisa mempersiapkan sendiri. Itulah rencana awalnya.

Kenyataannya, Alhamdulillah delapan puluh persen sesuai rencana. Bulan Februari masih bisa mengirimkan daftar barang yang akan dibawa dengan simulasi yang hanya sebagian saja. Selebihnya, berdasarkan perkiraan saja. Ngaco ya? Yes, indeed! 

   

 

Sebagian barang yang dikemas dari awal.   

Kami kirim sekitar 1,5 kubik padahal status kami tidak bisa jadi anggota karena masih akan ada di Jepang saat barang diproses. Akhirnya Pak Ruswan menjadikan sebagai penitip dalam dua kelompok. Awalnya sih barang akan dikirim ke dua alamat jadi dipisah sekalian di dua kelompok. Namun qodarullah ujung-ujungnya dikirim ke satu alamat saja. Tapi karena harus sesuai daftar yang sudah diserahkan sebelumnya, jadi meski jadi alamat pun kami tetap mengelompokkan barang sesuai rencana awal. Ribet kan? (Tarik nafas panjang, kipas-kipas… Rasanya sekarang pun kalau ingat, saya masih suka kebayang ngos-ngosannya).

Sesuai kesepakatan dengan dua kelompok, barang-barang kami dikirim tanggal 26 Maret (Kamis), pas hari kerja biasa. Jadi suami bakal ambil cuti biar bisa mengantar barang-barang ke gudang Yokohama. Awal Maret sudah mulai menyicil pengepakan barang. Namun, karena ini “barangnya dua orang” yang dijadiin satu jadi kadang harus saling cocokan data beneran ini atau bukan yang bakal dikirim, terutama yang berupa dokumen atau buku. Beberapa barang juga masih dipakai jadi bakal dikemas mepet-mepet pengiriman. Ditambah lagi, kalau pas hari kerja saya harus berusaha mengemas sendiri sedangkang ada dua bayi yang kadang tidak selalu kooperatif. Kesempatan tinggal akhir pekan untuk bisa kerja bareng-bareng tapi itu pun tidak setiap pekan bisa. 

Qodarullah, sepekan menjelang pengiriman barang masih belum siap, belum ada separuh yang terkemasi. Bahkan di akhir pekan terakhir sebelum pengiriman, tadinya mau habis-habisan fokus mengemasi barang, terutama hari Sabtunya. Qodarullah, bayi M tiba-tiba demam tinggi. Ahadnya saya harusnya jadi penanggung jawab makan siang untuk pengajian tapi terpaksa tidak bisa datang karena panas bayi M masih naik turun. Alhamdulillah hari Senin dia sudah lumayan mendingan, bisa disambi ngebut mengepak barang. Namun karena Senin-Selasa sendirian dengan kondisi bayi agak rewel, se-ngebut-ngebut-nya pun tidak bisa selesai tepat waktu sesuai rencana. Itupun sudah dibelain mengurangi jam tidur, makan sambil mengerjakan sesuatu, dan kadang-kadang sambil gendong bayi.

Secara ringkas yang harus kami lakukan adalah:

  • Menyiapkan kardus dengan ditulisi nonor kode sesuai daftar. Kami pakai kardus bekas, jadi ukurannya beragam. Anggaplah kami pelit buat beli kardus baru, tapi kalau memang sudah punya beberapa kardus amazon yang kuat-kuat, kenapa kudu beli baru? Apalagi beberapa barang tetap perlu kardus “rakitan” jadi kardus bekas adalah pilihan terbaik bagu kami. 
  • Melapisi bagian dalam kardus dengan plastik.
  • Memasukkan barang ke dalam kardus dan menutup rapat plastiknya.
  • Menutup kardus dengan lakban
  • Membungkus kardus  dengan terpal. Kalau kardusnya harus digabung, harus dilakban dulu sebelum dibungkus. Kami pakai terpal ukuran 3,5 x 5 m, jadi harus potong kecil-kecil sesuai kebutuhan. Jadi harus ukur lebar kardusnya juga terlebih dahulu. 
  • Menempel nomor kardus di 3 sisi  kardu
  • Mengikat kardus dengan tali

  
  
Sepekan sebelum pengiriman. 
Hari Rabu, suami sebenarnya cuti tapi sudah janji untuk membantu menyetir truk sewaan  yang dipakai pindahan para mahasiswa Chibadai. Rencananya  truk ini akan lanjut diisi barang teman-teman di Chiba yang akan dikirim ke gudang Yokohama bersamaan dengan barang kami. Rencananya pagi-pagi suami berangkat ke Chiba tapi karena kondisi saya masih keteteran banget jadi suami mengundurkan jam berangkatnya demi membantu saya membungkus kardus-kardus yang besar. 

Ada sekitar 25 kardus beragam ukuran yang harus kami isi dan bungkus. Tidak hanya ditutup rapat dengan lakban, kami juga berusaha membungkusnya dengan terpal sesuai anjuran Pak Ruswan. Di antara kardus-kardus ini, ada yang berupa dua kardus yang harus disatukan baru dibungkus terpal. Sampai hari Selasa, 80 persen sudah masuk kardus tapi ada yang belum tersegel lakban apalagi belum dibungkus terpal. Sampai hari Rabu pagi, 25 persen di antaranya sudah terbungkus rapi, terutama yang besar-besar. Itu pun hasil kerja sama dari pagi banget bareng suami. 

Tega tidak tega, suami saya tetap harus pergi Rabu siang itu. Saya hampir menyerah melihat separuh lebih barang masih perlu disegel ulang, masih harus menyatukan beberapa kardus, masih harus motong terpal buat bungkusnya. Badan saya sudah terasa panas banget hari ini, tapi rasanya kok kalau menyerah, sayang banget. Laa khaula walaa quwwata illa billah. Akhirnya saya mulai kerja lagi dengan menggendong bayi M, dengan bolak-balik membuat  penghalang bagi bayi N biar tidak mengganggu. Rasanya mirip saat berusaha naik ke puncak Gunung Fuji, panas dan nafas pendek-pendek, berat karena ada bayi M di punggung saya, tapi saya belum mau menyerah. 

  
   
Sesuai kesepakatan dengan suami, Rabu malam suami akan pulang bawa truk sewaan ditemani dua kawan dari Chiba untuk memasukkan barang-barang ke truk. Qodarullah suami pulangnya sudah lumayan malam dan ternyata saya lupa menempelkan lembaran nama dan nomor kardus serta belum mengikat kardus-kardus yang sudah siap. Akhirnya, meski sudah dibantu dua kawan, hanya beberapa barang yang bisa dimasukkan ke dalam truk. Kelihatannya sih sepele hanya menempel dan mengikat tapi kenyataannya ribet karena harus nempel 3 sisi kardus dan mengikatnya dengan pengikat barang yang harus ditarik kuat. Padahal ya, nanti di akhir-akhir tahu kalau yang lain ada yang hanya diikat rafia, sekedar formalitas memenuhi anjuran saja. 

Akhirnya tengah malam, saya dan suami berusaha melanjutkan sebisanya. Sebenarnya masih ada dua kardus besar yang harus “dirakit” oleh suami tapi dini hari kami memutuskan tidur saja dulu biar tetap ada energi. Apalagi suami masih harus menyetir sampai Yokohama. Subuh, sudah bisa diterka kami gedubrakan mengejar target. Karena waktunya terbatas, akhirnya satu kardus besar terakhir saya yang menyelesaikan sementara suami memasukkan barang ke truk dibantu dua teman yang sudah berbaik hati datang. 

Alhamdulillah aladzi bini’matihi tatimush sholihat. Barang-barang kami berhasil dibawa ke gudang tepat waktu pada tanggal 26 Maret itu. Meski gedubrakan di akhir waktu tapi Alhamdulillah 95 persen terkemas rapi. 

Kenapa tidak disiapkan dari awal Maret? We tried. Kami sudah coba semampu kami untuk mengepak seawal mungkin. Qodarullah, kadang saya hanya sendirian mengepak dan kadang badan tidak fit. Qodarullah anak sempat demam. Qodarullah ada saja acara dadakan di akhir pekan. Kami hanya berencana, tapi tentunya ada ketentuan Allah yang tidak bisa kami tolak. 

Well, over all I should said Alhamdulillah alladzi bini’matihi tatimush sholihat. Nothing to regret. We did our best as a solid team. 

Banyak yang harus disyukuri. Alhamdulillah, sejak beberapa hari sebelumnya kami sudah mengumpulan semua perlengkapan yang sekiranya dibutuhkan untuk pengepakan barang. Ibaratnya, peralatan tempur sudah lengkap dari awal. Jadi mepet-mepet pun sudah tenang karena alat in syaa Allah cukup. Alhamdulillah di sekitar rumah kami ada  home centre jadi bisa beli  peralatan pindahan dengan harga relatif lebih miring dari Daiso. Soalnya kan butuhnya lumayan banyak jadi kalau dihitung totalnya beli di home centre lebih hemat. Alhamdulillah anak-anak cukup kooperatif meski beberapa hari sebelumnya kadang tiba-tiba saya ajak belanja ini-itu dengan stroller. Alhamdulillah meski demam tapi bayi M tidak terlalu rewel. Alhamdulillah, ada gendongan Manduca yang nyaman buat bawa-bawa bayi saat mengepaki barang. Alhamdulillah, Allah membuat saya dan suami saling sabar dan kompak, padahal saya sempat hampir menyerah. Alhamdulillah Allah memberi kesehatan untuk menyelesaikan ini semua dengan baik. Suami kaget saat pulang Rabu malam karena 90 persen barang sudah rapi tinggal finishing touch. Padahal siangnya pas ditingga pergi masih separuh lebih yang harus disegel dan dibungkus terpal. Saya saja yang mengerjakan tidak percaya bisa selancar itu. Keep moving, keep doing, keep dzikrullah, keep khusnudzon, keep cheering my self and keep asking help from Allah th merciful. Alhamdulillah selesai juga. Selesai pengiriman hari Kamis itu, kami tepar semalaman. Tapi esok harinya masih nekat bowling dan main trampolin :D. Maafin ya, tulisan kali ini alurnya berantakan. Jujur saja aslinya sudah agak-agak lupa karena sepekan menjelang pengiriman barang ingatan saya kayak skipped beberapa hal, rasanya kayak tahu-tahu sudah malam, tahu-tahu sudah pagi lagi. Sekarang pu kalau suruh ingat-ingat lagi, kepala langsung pening. Alhamdulillah semua sudah terlewati. (Semoga tidak ada komentar harusnya begini begitu atau tadinya  lebih baik begini begitu, harusnya mendingan pakai jasa yang sekalian  mengepak dan sebagainya. Kalau iya, hehehe…, semoga dosa-dosanya diampuni :D)

   
    

creative, makanan, produktif

Masak Itu Menyenangkan, Beresinnya yang Bikin Malas

Saya dulu tidak bisa masak. Sekarang pun masih belajar masak. Saya sebenarnya tidak suka masak, tapi saya puas kalau akhirnya bisa membuat sesuatu.

Awalnya karena kepepet, tapi lama-lama jadi ketagihan. Pinginnya bisa masak beragam jenis makanan dari berbagai negara, dari cemilan sampai menu berat. Tapi apa daya terkadang kalau ketemu bagian menghias dan menata, saya males duluan :D.

Memasak itu menyenangkan. Yang tidak menyenangkan itu bagian beres-beres atau bersih-bersihnya, terlebih beresin punya orang (uups). Makanya tiap kali saya masak, saya sambil berdo’a agar masakan ini jadi enak, cocok di lidah & bisa dinikmati oleh orang yang memakannya.

Kalau makanan habis, saya senang. Apalagi kalau yang makan tampak senang, saya pun bahagia. Jadi ingat dorama Osen, di mana Sen (Aoi Yu) selalu memasak dengan muka bahagia & tersenyum-senyum sambil berkata “Oishiku nare” (jadilah enak). Itu adalah salah satu dorama yang menginspirasi saya untuk memasak dengan bahagia. Bukan sekedar mengubah bahan mentah jadi sesuatu yang bisa dimakan, tapi juga membayangkan wajah-wajah bahagia dari orang-orang yang akan menikmati masakan saya.

Satu lagi, ibu angkat saya di Jepang pernah berkata kalau makan itu bermula dari mata. Maksudnya, penyajian, kombinasi warna, dan apapun yang bisa dilihat itu bisa menarik selera makan. Makanya kadang saya tetap berusaha menata makanan untuk suami sebaik mungkin, meski hasilnya masih jauh dari harapan :D. Alhamdulillah, setidaknya saya punya satu orang penikmat setia yang selalu membuat hati saya bahagia tiap kali menyajikan makanan untuknya ^^.

20140713-174722-64042337.jpg


Tulisan di atas kenapa berasa kayak hasil karya anak SD ya?!! >______< Efek sudah tidak fokus.

Baby, parenting, produktif, renungan

Catatan Ummi (2): Cocok di Sana, Tidak Cocok di Sini

20140626-133544.jpg

Aha, akhirnya bayi saya sudah berhasil manjat meja kecil kami. Ini upaya ketiga yang akhirnya berhasil. Dua hari sebelumnya sempat mencoba naik tapi salah satu kakinya “ketinggalan” hingga akhirnya teriak minta ditolong :D. Kok saya senang anak saya akhirnya bisa panjat-panjat? Iya, Alhamdulillah, saya bersyukur bayi saya sehat & gesit. Meski kadang saya terpaksa jadi sarana halang-rintang baginya. Bahkan saat ada suami saya pun, anak saya memilih “memanjat” saya yang berujung pada tendangan atau tabokan tanpa sengaja. Kalau sudah seperti itu, biasanya diikuti tendangan lain sampai kadang berpikir ini koneksinya kuat banget ya :)). Kalau dicermati, dari mulai bisa guling-guling dan merangkak, indikasi bahwa anak saya bakal doyan gerak sana-sini makin terlihat. Dulu juga entah kenapa lebih suka anak yang gesit & aktif. Dari belum punya anak pun, saya suka banget kalau lihat keluarga yang “biarin” anaknya main lumpur atau hujan-hujanan dalam rangka proses belajar, bukan sekedar main-main.

Balik ke perkembangan anak saya, Alhamdulillah dia sudah mulai bisa berjalan meski masih pelan-pelan dan langkahnya bisa dihitung dengan jari tangan di usianya yang belum genap sebelas bulan. Rasa ingin tahunya sangat besar sampai hampir semua sudut di rumah sudah habis dia jelajahi. Tak jarang kami menemukan dia nyempil di pojokan dengan muka memelas minta ditolong tapi tidak menangis. Rak kami sudah tidak ada yang “selamat” dan kadang sampai harus berebut dengannya untuk beres-beres. Tidak jarang, saya baru selesai membereskan satu titik, dalam hitungan detik sudah didatangi dan diacak-acak lagi. Ya sudahlah, biarkan saja dulu sampai dia puas. Terkadang, polah dia seperti itu hanya untuk “menggoda” saya karena kalau saya ganti melakukan hal lain, otomatis dia bakal ikut nimbrung ke tempat saya berada.

Capek? Iya. Rumah berantakan? Pasti. Tapi saya senang karena dia tumbuh dengan sehat. Anak saya memang saya bebaskan bergerak, tapi bukan tanpa pengawasan dan penjagaan. Orang mungkin akan bilang, iya kalau di Jepang lantainya dari tatami jadi kalau jatuh masih lebih aman ketimbang ubin di Indonesia. Namun menurut saya, itu tidak bisa sepenuhnya jadi penghalang sih. Saya yakin meski berlantai ubin pun, akan ada cara untuk mengakomodir keinginan anak untuk bergerak bebas. Tinggal orang tuanya saja mau ambil sikap seperti apa. Anak saya memang saya biarkan beraktifitas sesukanya, tetapi tidak jadi “liar” karena di setiap proses selalu disertai penjelasan dan bimbingan. Kalau harus dilarang, larang. Namun disertai penjelasan kenapa dilarang dan hal lain apa yang lebih baik dilakukan sebagai gantinya. Memangnya anak umur sebelas bulan sudah paham? Paham atau belum paham, tidak jadi masalah karena itu juga proses pembelajaran bagi orang tua dan anak untuk saling berkomunikasi. Saya sangsi bahwa saya ujug-ujug (tiba-tiba) mampu jadi bijak saat harus bicara serius pada anak saya kelak, jadi mending saya berlatih dari sekarang :D.

Catatan saya perihal perkembangan anak kali ini adalah bahwa tiap anak mempunyai karakter dan potensi bakat yang berbeda. Dalam menghadapinya, tidak bisa dipukul rata dengan cara yang sama. Tentu saja ada nilai-nilai dasar yang sama yang akan diberikan kepada anak-anak, tetapi hal teknis dalam menghadapi mereka bisa jadi berbeda-beda. Adil itu bukan memberikan semua hal sama rata, tetapi memberikan hal sesuai tingkat usia dan kebutuhannya. Untuk anak saya ini, barangkali tipe pembebasan dengan kepercayaan dan pengawasan masih cocok. Alhamdulillah anaknya cukup nurut kalau dikasih tahu atau diajari asalkan dengan cara yang lembut. Masih banyak yang harus kami pelajari. Satu hal yang pasti, apa yang berlaku dalam suatu keluarga belum tentu pas atau cocok untuk diberlakukan di keluarga yang lain. Jadi, silakan kasih saran dan nasehat, tetapi jangan memaksa ^^. No offense.

Ichihara, 26 Juni 2014

education, parenting, produktif, social & culture

Catatan Ummi 1: Televisi dan Video Bukan Tontonan untuk Anak

Hari ini periksa dua pekanan dan tentunya saya harus membawa serta Nuh. Kebetulan hari ini dia agak di luar kebiasaan, cenderung cerewet dan tidak mau duduk tenang di stroller selama di jalan maupun rumah sakit. Apalagi tadi saat berangkat agak terburu-buru karena ternyata hujan dan harus memasang tirai plastik di luar strollernya segala macam.

Saat menunggu giliran, awalnya anak saya masih lumayan kooperatif dan mau memainkan mainannya sendiri. Namun, ternyata antrian hari ini cukup panjang hingga anak saya mulai bosan dan agak mengantuk. Ocehan yang tadinya lucu, lama-lama jadi keras. Beberapa kali saya harus ganti senandung dan aktifitas main bersama untuk mengalihkan kebosanannya. Alhamdulillah, masih terkendali.

Di sisi lain ruangan, ada dua anak balita yang duduk bersama ayah dan ibunya. Sepertinya sudah cukup lama menunggu karena saat saya datang, mereka sudah duduk di sana. Saat ibunya wira-wiri entah ke mana lalu ke ruang periksa, anak-anaknya rupanya mulai bosan sementara ayahnya tidak terlalu mau mengajaknya bermain atau mengobrol. Lalu terdengarlah suara musik iringan game dan kartun secara bersamaan. Dua balita tadi akhirnya agak diam karena dibiarkan menonton game ataupun video kartun, sementara ayahnya menurunkan topinya lalu setengah tidur.

Saya tidak bisa menyalahkan orang tua yang terbiasa memberikan video ataupun game untuk menenangkan anaknya. Apalagi di Jepang ini, orang tua seolah-olah dituntut untuk sebisa mungkin membuat anaknya tenang tanpa mengeluarkan celotehan ataupun teriakan khas anak-anak. Barangkali, bagi mereka video game ini salah satu cara terjitu, tercepat dan efektif bagi anak-anak mereka.

Saya pribadi mempunyai prinsip berbeda. Sebisa mungkin saya tidak ingin memberikan tontonan kepada anak-anak saya sebelum masuk usia yang saya anggap pantas untuk menonton dan bisa diajak bersepakat tentang batasan waktu. Tontonan yang nantinya saya bolehkan pun hanya tontonan edukatif, bukan acara TV ataupun film kartun anak. Lho, bukannya banyak video kartun yang memang ditujukan untuk bayi dan anak-anak? Iya, memang banyak. Namun saya tetap kukuh pada pendirian saya untuk tidak menyajikan hal itu sebagai tontonan, penenang, ataupun pengalih perhatian. Saya lebih senang anak saya aktif bergerak di usia emasnya. Capek dong menenangkan atau membuat anak tidak cepat bosan, apalagi di tempat umum? Mungkin iya, tetapi saya tidak mau kalah. Anggap saja itu sebagai ajang kreatif buat saya agar bisa menciptakan permainan sendiri agar bisa membuat anak tetap tenang dan tidak bosan tanpa dibungkam dengan video game ataupun kartun.

Saat ini pun, keluarga kecil kami sudah tidak menonton televisi. Padahal ada layar televisi besar di rumah. Namun tidak pernah kami nyalakan lebih dari setahun ini. Kalaupun dinyalakan, fungsinya berubah hanya sebagai layar yang lebih besar bagi laptop kami :D. Tahan? Alhamdulilaah, tenang dan nyaman tanpa televisi. Sesekali kami nonton video seputar ceramah agama ataupun rekaman acara televisi seperti dialog atau talk show di youtube. Namun itu sebisa mungkin dilakukan tanpa anak kami, misal saat dia tidur. Paling sering ditonton sih ceramah agama bagi suami saya dan demo masak bagi saya :D. Tidak jauh-jauh dari minat dan hobi lah. Rekaman acara televisi terhitung sangat jarang kecuali pas ada tema yang cukup menarik.

Alasan terkuat kami untuk tidak memberikan tontonan terutama televisi kepada anak kami adalah untuk menghindari pengaruh buruk bagi anak yang belum bisa memilah apa yang baik dan buruk, apa yang bermanfaat dan tidak. Kami menilai bahwa televisi bisa memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan mental san kepribadiannya kelak. Apalagi saat ini konten acara televisi makin amburadul dan iklan-iklan juga tidak jelas. Selain itu, kami tidak ingin anak-anak kami hanya jadi anak yang pasif. Anteng sih di depan televisi tapi tidak bermain sambil bergerak, berkreatifitas dengan berbagai macam media ataupun belajar banyak hal dengan melihat, mendengar ataupun merasakan langsung sesuai usianya. Ini juga yang mendorong saya untuk jadi kreatif dengan menciptakan berbagai macam senandung ataupun permainan yang bisa dilakukan bersama anak saya. Kata suami, akhir-akhir ini “koleksi” lagu saya untuk Nuh makin lucu dan justru suami saya yang lebih cepat hafal :D.

Barangkali banyak yang akan menyangsikan seberapa kuat kami akan bertahan tanpa televisi maupun video anak untuk anak-anak kami. Di sinilah tantangannya. Ini adalah pola didik yang sudah kami sepakati dan ingin kami jaga. Tentu saja tidak akan mudah. Apalagi lingkungan sekitar kami tidak semuanya sepakat ataupun paham tentang mengapa harus menghentikan tontonan bagi anak-anak. Namun saya ingat training tentang parenting dengan Abah Ihsan dulu bahwa orang tua akan selalu diuji tentang komitmennya dalam mendidik anak. Dulu yang dijadikan contoh misalnya orang tua melarang anaknya makan coklat tetapi saat berkunjung ke rumah kakek-neneknya, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan seplastik coklat hadiah untuk anak-anaknya. Di sinilah perlu komunikasi yang bagus agar anak tetap terjaga dalam pola asuh dan pola didik yang diinginkan dan di sisi lain, orang lain maksud baik dari sistem didikan yang kita inginkan.

Saya baru beberapa bulan jadi orang tua, tentunya masih miskin pengalaman. Namun, saya juga sudah sering mengamati tentang pola didik di sekitar saya. Tidak sedikit anak yang akhirnya jadi kecanduan menonton video bayi atau anak-anak hingga tidak mau dihentikan sama sekali. Tidak sedikit juga anak-anak yang lebih suka main game di handphone ataupun tablet dibanding bergabung bergabung dengan teman seusianya. Saya tidak ingin anak-anak saya jadi seperti itu. Oleh karena itu saya membatasi diri untuk memberikan handphone ataupun iPad saya sebagai tontonan ke anak. Sesekali, saya membiarkannya menyentuh iPad saya. Namun, itupun hanya sebatas slide show dari foto-foto keluarga kami yang kami tampilkan dengan kondisi iPad terkunci. Kalau slide show tadi terhenti karena ditepuk-tepuk oleh anak saya, ya sudah. Anak saya biasanya akan mencari hal lain untuk bermain. Oya, kami juga kadang-kadang memberikan video sebagai tontonan baginya, tapi isinya video keluarga alias kejadian sehari-hari yang kami rekam. itupun kami tonton bersama dengan memberikan penjelasan tentang berbagai hal kepada anak kami. Misalnya, kami putar ulang video saat anak kami bertepuk tangan pas dengan irama senandung kami atau video saat dia tertawa ceria sambil dijelaskan kami suka melihat dia jadi anak ceria. Jadi, sejauh ini tidak ada kata ketergantungan baginya. Kalaupun jadi kecanduan, toh isinya kami sendiri dengan kata lain dia bisa melihat aslinya setiap waktu :D.

Perjalanan kami masih panjang, masih butuh banyak energi dan komitmen kuat untuk konsisten. Namun kami percaya, insya Allah Allah akan mempermudah langkah-langkah kami selama ini untuk tujuan baik dan tetap menempatkan Allah sebagai hal pertama dan mendasar untuk diingat dan dipegang oleh anak-anak kami.

creative, makanan, produktif

Ketika Tokyo Terasa Jauh, Bisa Produktif di Rumah

Akhir-akhir ini saya sedang sangat malas buat berpergian jauh, apalagi pakai kereta. Tokyo, jadi berasa jauh. Meskipun kadang sangat ingin ikut beragam acara ataupun pengajian di Tokyo, saya sering menahan diri karena kapok beberapa kali memaksakan diri. Bukan tanpa alasan. Saya kadang sudah malas duluan ketika membayangkan harus ganti kereta berapa kali dengan dorong stroller plus barang bawaan. Apalagi kereta dari Chiba ke Tokyo itu lumayan padat. Saya cukup sering tidak dapat tempat duduk dan kadang tidak mau memberanikan diri minta tempat duduk meski saya di bagian prioritas sekalipun. Padahal, kondisi saat ini tidak memungkinkan saya berdiri terlalu lama. Pernah nekat ke Tokyo tanpa suami lalu pulangnya harus berdiri sepanjang perjalanan plus Nuh maunya digendong. Waktu itu sih perut belum terlalu membuncit. Kalau sekarang disuruh gendong Nuh di kereta, saya milih guling-guling deh (lebay).

Nah, sebagai konsekuensi malas pergi jauh-jauh, saya lebih banyak tinggal di rumah bareng Nuh. Awalnya pas masih lemes, paling banter baca ini itu saja. Sekarang, saya sudah lumayan bisa mengatur waktu dan stamina jadi pingin lebih produktif. Lalu muncullah ide-ide dengan cepatnya di kepala. Mulai dari proyek mainan Nuh sampai mencoba resep baru. Proyek mainan Nuh masih tetap jalan. Tapi karena butuh ketelitian dan kehati-hatian karena bermain jarum dan kawan-kawannya, jadi sekarang mengerjakannya saat benar-benar Nuh tidak akan ganggu saja.

Akhir-akhir ini, “proyek” baru saya adalah bikin cemilan dan mencoba resep baru. Suami saya sih senang-senang saja jadi “kelinci percobaan”. Toh hasilnya layak makan dan hampir selalu bikin nambah. Tapi saya juga sadar diri biar ga terlalu banyak makan. Nanti yang ada dimarahin bidan lagi kalau kelewatan naiknya :D.

Balik ke cemilan, pekan ini saya lagi ketagihan bikin kue kering. Awalnya pingin yang berasa keju, jadilah kastengel. Ketika sudah jadi, makan satu dua biji, sisanya simpan. Makannya dikit-dikit saja biar tidak bikin berat badan naik :D. Terus, jadi kebayang-bayang kue kacang tanah yang dulu biasa dibuat di rumah. Lanjut coba bikin dong, mumpung bahan mudah didapat. Tapi kok belum puas ya, karena memang aslinya sempat pingin juga kue bawang yang gurih itu. Lalu berujung pada pencarian resep kue bawang juga. Dari sekian banyak resep di internet, saya milih yang perbandingan terigunya lebih banyak daripada kanji. Kebetulan ada pasta maker yang biasa saya pakai untuk bikin kulit pastel, kulit molen ataupun mie untuk mie ayam. Alhamdulillah, hasil pencarian diskonan di Amazon dulu memang bermanfaat. Kalau tidak ada alat penggiling ini, mungkin saya malas kalau harus nipisin dan motonging adonan kue bawang secara manual. Kalaupun saya rajin, paling banter saya bikin lebar-lebar :D.

20140606-132930.jpg

20140606-132943.jpg

20140606-132957.jpg

Alhamdulillah, sejauh ini suami tidak melarang hobi saya utak-atik hal baru di dapur ataupun proyek mainan Nuh. Yang terpenting, Nuh tidak terabaikan dan saya tidak kelewat kecapekan. Kalau bagi saya pribadi, ini wujud pembelajaran diri. Saya harus menambah sesuatu ilmu, kemampuan ataupun wawasan meski saya di rumah. Makanya saya tidak ragu beli barang yang sekiranya memang saya butuhkan. Tapi tetap pakai pertimbangan azas manfaat dan nilai ekonomisnya. Misalnya alat pembuat pasta atau mie ini, saya juga tidak langsung beli dan pakai survei online dulu. Padahal waktu mau beli, suami sempat yang meragukan,”Bakal kepakai gitu? Jangan cuma numpuk barang ya.” Alhamdulillah, saya biasanya kalau beli barang, harus yang banyak manfaatnya atau bakal sering terpakai. Ini wujud komitmen saya bahwa di rumah pun adalah ladang menuntut ilmu dan ajang produktif. Kalau sekarang kondisi saya tidak memungkinkan untuk banyak aktifitas sosial atau di luar rumah, ya nikmati saja & manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Alhamdulillah ‘alaa kulli hal.